Selasa, 15 Desember 2015

Nostalgia Sebentar

"Mas waraono ya bar ngene?" Kata Adik selepas saya keluar dari kamar mandi.
"Warai opo?" Jawab saya.
"MM."

Ahh, jadi keinget waktu SD dulu.
Waktu saya masih ganteng. Beneran. Waktu saya masih sok tau tentang hal yang saya tidak tahu. Waktu saya masih lebih pinter dari sekarang. Waktu saya masih suka dan masih bisa main petak umpet, kelereng(cirak), patel lele, polisi-polisian, wes pokoke uakeh dulinan. Waktu saya pertama kali kena kasus dan orang tua kepanggil kesekolah, tapi orang tua tidak saya beri tahu.  Waktu temen-temen saya belum jadi senakal sekarang.

Waktu saya nemuin cinta pertama saya, eh, kayaknya nggak. Barusan sadar, saya nemuin cinta pertama saya waktu TK, ato malah belum sekolah kayaknya. Cinta pertama saya bukan kamu, tapi Arsenal. #COYG. #ComeOnYoungGunners. Yyoooott.

Ahh.

Kapan pertama kali kalian dapat nilai 0(nol)? Saya SD. Kelas 1 SD. Pelajaran matematika. Tepatnya bab pembagian ato porogapit. Padahal gampang? Orang masih belum ngerti kan ya belum bisa. Saya lupa waktu diterangin sama guru saya sama masuk ato nggak. Terus dikasih soal dan saya sangat nggak ngerti cara ngerjainnya gimana, seinget saya cuman : 'nanti pokok jadi 0(nol)'. Apanya yang jadi 0(nol)?. Jadi, kalo nggak salah saya dapat nilai 0(nol). Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya sel otak saya, saya jadi bisa. Bisa dapet 0(nol) lagi.

Dan juga lagi, saya pertama kali bisa menambahkan bilangan desimal dengan bilangan asli kelas 4 SD. Waktu itu saya di suruh maju untuk ngerjain soal di papan tulis, terus saya nggak tahu harus ngerjainnya gimana. I was confusing. Apalagi gurunya disiplin(baca:kereng) lagi. Akhirnya, dengan ke-iba-an teman-teman, mereka berteriak bisik-bisik dibelakang saya cara ngerjainnya. Dan, walla, kayaknya soalnya bisa dijawab. Alhamdulillah. Dan saya jadi bisa. Selalu ada hikmah dalam setiap cobaan.

Ahh, jadi lupa apa lagi. Pokoknya, waktu SD banyak pertamanya. Iya nggak sih?

Seiring berjalannya waktu, banyak perubahan mulai dari SD sampai sekarang(SMA). Dari segi mana saja. Banyak. Temen, yang dulunya masih polos dengan ke sok tau an, sekarang udah ada yang kerja, ngerokok, dan hal yang ngerusak moral, bahkan ada yang udah kerja diluar kota. Sekarang udah jarang ketemu, ada yang udah sama temen sekarang, kerja, banyaklah. Kadang pas nongkrong bareng saya merasa hangout with zombies without being one of them. Nongkrong sama temen yang ngerokok tapi saya nggak ngerokok. Sempet ada wacana mau reuni, tapi cuma wacana. Wacana.

Terus. Bangunannya. Anonymous mengatakan : "Jika kita sudah lulus, maka bangunan sekolah tersebut akan menjadi lebih bagus". Obviously. Sekolah kalian juga kan? Saya sebenarnya belum survey langsung ke sekolahan, tapi dari luar kelihatan renovasi sedang berjalan.

Nggak cuman bangunan sekolah, sekitar sekolah juga. Dulu, depan sekolah belum ada toko, sekarang ada. Dulu, depan sekolah belum ada minimarket, sekarang juga belum.

Yang signifikan perubahannya adalah : Kebiasaan Anak SD sekarang dengan yang dulu. Dulu, sepulang sekolah, saya sering beli Sarikedelai bersama empat orang teman saya, dan langsung diminum disitu sambil guyon-guyon.Sarikedelai-nya pake plastik bukan cup. Minumnya juga diteras tokonya, nggak ada meja kursi, duduk dibawah. Sekarang tokonya udah direnovasi juga. Sekarang, anak SD pasti langsung pulang terus main HP. HP? Dulu ini barang langka, barang mahal. Cuma ibuk saya yang punya di keluarga saya. Ada telfon rumah.

Tapi.

Tapi, ada juga kebiasaan dari SD saya yang nggak hilang. Nggak tau ini kebiasaan ato apa. Yaitu : Nebeng. 

Saya memulai karir saya menjadi 'pe-nebeng ulung' sejak saya SD. Saya merintis karir dari bawah. Terus ke atas. *paansih. Saya, waktu dulu, nebeng kakak kelas yang rumahnya tetanggaan agak jauh yang bawa sepeda. Cuma pulang, berangkat dianter. Kita bertiga. Kadang dua sepeda, pernah juga satu sepeda buat 3 anak. Satu di belakang, terus ditengah, satu lagi di stang. Akrobat banget. Terus, ngelewatin jalan yang masih macadam. That was unforgottable experience.

Kadang saya juga nebeng temen sekelas juga adik kelas yang rumahnya lebih deket dia daripada rumah saya ke sekolah. Tapi, saya suruh anter sampe rumah. Orang saya yang bonceng.

Nebeng ini masih saya jalankan sampe sekarang. Kalo sepeda motor dipakai semua, saya nebeng temen. Juga yang rumahnya lebih deket dia daripada rumah saya kesekolah.


By the way, sudah dua-tiga bulanan saya nggak nge-blog sedemikian rupa. Cuma puisi yang nggak bagus. Monoton. Bosenin. Itu karena, saya sedang nge-sibuk-in diri untuk persiapan kelanjutan belajar saya. Saya sekarang di kelas 12, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya ato nggak. Ngomong-ngomong jenjang selanjutnya, saya juga pernah nge-blog tentang mimpi saya. Baca aja : Ketika Orang Lain Percaya Kepada Kalian Dibandingkan Kalian Sendiri. Doa in ya. Aamiin.

Nge-sibuk-in diri sebenarnya terselip upaya untuk move on. Kenapa? Soalnya dia kayak Argon, diapa-apain nggak bereaksi. Sekarang masih proses awal dengan seseorang. Doakan semoga dia juga suka sama saya. Aamiin.

Hah. Udah nge-blog panjang lebar kayak gini. Gimana cerita kalian?(csw)





Rabu, 25 November 2015

Sajak Malam

Aku menikmati bulan pendar bundar
dari tanah tandus lapang kering
dibawah bulan terlihat
cambukan cahaya saling silang
tanpa pekak tabuh gemuruh
hanya kilatan cahaya sepenggal

bintang sembunyi dibalik rasi
tak berani nampak diri
takut tersakiti cambuk listrik.

Ragu

Aku berdiri diambang pintu
kau duduk dibalik pintu
aku ragu untuk mengetuk pintu
kau bimbang untuk membuka pintu
aku diluar sunyi
kau didalam sepi
aku tahu kau menungguku untuk mengetuk pintu
meminta masuk
kau tahu aku menunggumu membuka pintu
memanggil masuk
aku mengintip dari ventilasi
kau menengok dari jendela
aku takut, aku pulang.

* terinspirasi dari puisi "Tinggi Hati" karya Nursjamsu

Wajahnya

benarkah angin tak mencoba
singgah di matanya yang penuh misteri
benarkah angin tak mencoba
menerbangkan rambutnya yang bergelombang
benarkah angin tak mencoba
mengelus pipinya yang halus
benarkah angin tak mencoba
membisiki telinganya yang elok
benarkah angin tak mencoba*
menyentuh bibirnya yang sempurna*


* dikutip dari novel "PULANG" karya Leila S. Chudori

Sajak Bunga

seperti bunga
dia tumbuh
dari kecil
hingga dewasa

seperti bunga
dia tidak berkompetisi
dengan bunga lain
melainkan

seperti bunga
dia mekar
dengan sendirinya
tanpa hirau
bunga lain

seperti bunga
dia tidak
pernah iri
dengan bunga lain

seperti bunga
dia tidak
ingin menjadi
bunga lain

seperti bunga
dia indah
dia cantik
dia dia.

Jumat, 06 November 2015

Sirna

biarkan aku sendiri
yang ini bukan apa-apa
aku masih akan menghadapi
gelombang dan badai yang seribu kali lebih besar
dan mungkin... seribu kali lebih sunyi.

Malam Terang

Saat kutulis puisi ini
bulan bertahta dicakrawala
bagai mangkok bersinar
tanpa gangguan bintang
awan mendung
sama seperti kala itu
disaat aku masih mengirimmu surat
berkala setiap rindu
berangan sesungging senyummu
berkhayal pandangan matamu
memejam seolah mendengar suaramu
berpura-pura berbicara denganmu
berharap ada disismu.

Minggu, 01 November 2015

Terkikis Pada Malam

aku terduduk di pojok kamar
meringkuk-memeluk lutut
menatap langit-langit
berkhayal dalam-jauh
tergambar wajah dirinya
yang bertahta dijiwa tiada banding
seperti purnama pada cakrawala malam

teringat apa dia senja tadi kata
hancur hati remuk redam
tidak terkira akan sengeri ini
sebelum itu aku bersiap kecewa
tidak kumengerti tetap sakit tapi
penantian panjang dihempaskannya saja begitu

aku berlari. Berlari hingga hilang pedih peri
kupercepat langkah tak menoleh kebelakang
ngeri ini luka-terbula sekali terpandang

aku masih terduduk dipojok kamar
meringkuk-memeluk lutut
menanti dirinya yang enggan datang.

Jumat, 30 Oktober 2015

Kabut Pagi

Di kabut pagi aku melihat bayangan wanita
aku bingung dia bidadari atau orang biasa
dikabut siang aku melihat sepasang mata
aku bingung terpancar pengharapan atau kemuakan
dikabut malam aku melihat tak ada apa-apa
aku bingung mengapa aku berharap

dan, entah, aku selalu rindu kedatangan kabut pagi.

Senin, 26 Oktober 2015

Wanita Yang Menanti

dia menunggu dalam sepi
mengarungi waktu tanpa arti
seolah ada sesuatu yang dinanti
seorang yang menurutnya tanpa tapi

dia tidak tahu
yang dinanti apa juga mengerti
dirinya sangat berarti

dia menunggu dalam sakit
sakit yang tak terperi
seolah tak ada banding
selain ini

dia ingin beranjak
tapi terlalu takut
kenangan lalu
memaksanya untuk bertahan

dia duduk di atas luka
berbaring dengan tangis
berselimut kesepian

dia tetap tak berkilah
seolah ada perkataan:

Diam saja disana!
Dan menanti!

Jumat, 23 Oktober 2015

Siap Untuk Kecewa

Aku hanya seseorang
yang tiap malam
hanya berani menikmati bintang
dari tanah lapang

Aku hanya seseorang
yang tiap waktu
hanya berani berhayal
tanpa berbuat

Aku hanya seseorang
yang tiap sempat
hanya berani memandang
dari persembunyian

Aku hanya seseorang
yang selalu membual
tentang keberanian
tentang ratapan

Aku hanya seseorang
yang berani mengungkapkan
di belakangnya
tidak didepannya

Aku hanya seseorang
yang
padahal
siap untuk kecewa.

Kamis, 22 Oktober 2015

Sajak Malam

Malam ini
ingin kubuat puisi
entah karena suasana hati
atau karena suatu aksi

Malam ini
satu puisi telah terjadi
terangkai tanpa tapi
tanpa arti

Malam ini
adalah suatu prosesi
akan menjadi api
atau menjadi bangkai.


Rabu, 16 September 2015

Masa PDKT

Setiap insan pasti pernah merasakan PDKT. Ada yang akhirnya jadian, ada juga yang "cinta tapi bungkam". Biasanya kalo udah gini, yang disalahin si-cowok. Bener? Banget. Juga saat PDKT, biasanya, teman saya, ngasih semangat gini : udah tembak aja!, ngomong ke dia dong! dll. BACOT LU GAMPANG NGOMONG GITU! . Mungkin kalo saya orang jakarta, atau setidaknya anak agak gaul, pasti ngomong gitu. Sayangnya, saya cuma anak kurang ASI.

 Perempuan sangat suka jika diberi surprise. Padahal laki-laki juga suka. Jadi saran saya, kasihlah dia surprise. Perempuan suka sama Bunga atau coklat. Kasih aja salah satu, jangan dua-duanya. Terus kasih aja kata-kata gombal. Kalo saya gombal-an cuma buat temen, kalo gebetan itu ya aslinya emang kayak gitu.

Saya? Belum pernah. Yang selalu ada di otak saya kayak gini :
Ini adalah hal yang ditakutkan oleh semua lak-, eh , cuman saya.
Enggak semua akhiran nya kayak gitu. Ada beberapa faktor yang memengaruhi. Salah satunya, intensitas ketemu, eh, nggak deng, intensitas ngobrol.

Ya, lucu aja, kalo saya nggak pernah ngobrol, atau malah baru kenal kemarin, udah langsung ngasih kejutan. Mungkin jadinya kayak gitu.

Oiya, kalo nge-gebet orang jangan yang udah punya pacar. Selain udah punya orang, dicap sebagai PHO juga bisa. Tapi yang paling penting, chemistry. Ilmu kimia bersabda :

Suatu unsur tunggal itu bersifat reaktif. Namun jika ia sudah berpasangan ia akan stabil.
Juga kenapa ada orang yang ngebet banget kudu punya pasangan. Mungkin dia mengimplementasikan Hukum Redoks dalam kehidupan nyata. Iya, hukum yang itu. Suatu unsur tunggal maka nilai redoks-nya 0. Padahal kalo berpasangan nilai-nya belum tentu positif, ada juga yang negatif.


Buat saya, masa PDKT adalah masa saling kenal, bukan malah pacarannya. Mungkin saya kalo pacaran jadi serius, nggak sih kayanya. Pernah dulu pacaran, masih polos, nggak tau apa-apa. Tiap hari rasanya insecure terus. Kenapa? Ada peribahasa "bagai pungguk merindukan bulan". Kalo saya "pungguk mendarat di bulan numpang roket neil armstrong."

Pas masa PDKT juga pasti ada saingan. Wajar. Yang bikin down itu kalo saingan saya lebih dari saya. Yang bikin down lagi kalo mantan-nya lebih ganteng dari saya. Kalo udah gitu, saya pulang, belajar, kuliah jurusan teknik biokimia, biar bisa bikin racun. Udah gitu, saya ajak saingan saya ajak keluar, beli minum, kasih racun. Eh, pas ngasihin gelasnya ketuker.

Udah PD aja!.


Kamis, 30 Juli 2015

Ketika Orang Lain Percaya Kepada Kalian Dibanding Kalian Sendiri

Pernah nggak sih kalian cerita tentang mimpi/cita-cita kalian ke orang lain dan orang tersebut percaya kalian bisa sedangkan kalian mikirnya nggak mungkin? Aku sering.


Beberapa hari yang lalu aku ketemu sama ibunya temenku. ketemunya di tempat fotocopy-an, aku mau ngambil fotocopy sedangkan beliau lagi mau fotocopy-in rapot temenku. Agak banyak, jadi bisa ngobrol agak lama. Ngalor-ngidul gitu topiknya. Dari rumah beliau yang katanya pindah ternyata udah lama, sampai aku tanya habis bata berapa.

Sampailah pada pertanyaan paling mematikan "Mau nerusin(kuliah) ndek mana can?" Hah? Nerusin ndek mana? Iya sih ini pertanyaan paling umum ketika kita, kalian juga, masuk kelas akhir dalam suatu jenjang pendidikan.

Tapi sekarangkan masuk sekolah aja belum, udah ditanya yang kaya begituan. Ya ada sih gambaran mau kuliah dimana, tapi belum tau itu beneran yang aku pilih ato nggak. Oiya pas juga akhir-akhir ini aku lagi baca novel Amelia-nya Tere Liye yang disitu ada suatu cerita tentang kultur jaringan.

"Pengennya sih IPB bu."
"Amin-amin, kalo si Ani* sih nggak tau kau kemana, pengenku sih dia masuk akpol, sekarang mulai nyicil jogging gitu.Tapi anaknya males, ndek kamar terus."

Padahal waktu itu aku nggak yakin bisa masuk IPB, tapi beliau percaya kalo aku bisa.

Beberapa hari sebelumnya juga, pas aku lagi ngulik-ngulik internet, mainan sosmed. Aku ngeliat postingan foto temenku disebuah sosmed yang gambarnya: 

Nggak usah dijelasin gambarnya.
Aku juga nggak tahu dimana
Universitasnya. 

Tapi pas pertama kali lihat gambar ini, detak jantungku langsung, deg. Nggak tahu kenapa.

Beberapa hari kemudian. Pas ada bukber MTs(SMP) aku tanya langsung ke yang punya gambar.

"Eh, gambar mu itu ndek mana?"
"Ohm yang itu di UGM."
"Kamu kesana?"
"Enggak, bukan aku yang kesana, aku cuman titip foto. Kenapa?"
"Enggak, aku juga pengen masuk jurusan Arsitektur"
"Eh masa? Iya toh? Wah, jadi kita bakal satu jurusan?"
"Eh..?"
"Iya sih smada relasinya bagus sama univeritas kayak gini."

Bahkan dia sangat percaya kalo aku bisa nembus jurusan arsitektur, aku sih nggak.

Kenapa?

Oke, aku jelasin. Dalam Teknik Arsitektur ini dibutuhkan kemampuan Fisika dan Matematika, okelah kalo yang dua ini bisa aku kejar, deberesin. Belajar intensif, pasti bisa. Selain itu, mungkin masalah kreatifitas, ini sih nggak gampang, tapi masih okelah. Yang paling masalah, AKU NGGAK BISA GAMBAR. Aku kalo gambar itu yang ada dikepala beda banget sama yang diatas kertas. Nggak tahu kenapa. Apalagi masalah warna. I'm suck in colouring. Lebih menyesal kalo gambar aku, aku warnain sendiri.

Hahhh.

Oke.

Suatu ketika, ketika lagi ngulik-ngulik internet juga, mainan sosmed juga. Ngelihat fotonya pak Ridwan Kamil, beliau inspiratif banget. Kalian pasti tahulah siapa beliau, nggak perlu dikenalin lagi. Setelah baca biografi beliau, ternyata beliau alumni Teknik Arsitek ITB. Tambah beliau juga bisa dapat pernah kuliah diluar negeri. Di Berkeley, University of California.

Semangat ku untuk masuk kejurusan Teknik Arsitektur meletup lagi. Persetan dengan nggak bisa gambar, itu bisa dipelajarin, mungkin. Persetan dengan pewarnaan, padahal ini penting, bisa dipelajarin juga. Juga untuk belajar bahasa inggris, banyakin baca buku Toefl.

Okelah, Gimana? Kalian percaya aku bisa tembus semua itu? Aku percaya, mungkin, eh nggak deng kayaknya. Terus aku nggak usaha? Salah. Udah aku jelasin di paragraf sebelum-sebelumnya.


Lampaui Dirimu. Slogan Yamaha tersebut bisa buat acuan diri kalian. Hidup itu nggak sesusah yang dipikirkan dan nggak semudah yang diinginkan. Berusahalah, bekerja keraslah. Aku, juga mungkin kalian, belum pernah nyoba tapi udah bilang nggak bisa. Nggak logis. Eh, tapi aku nggak, kalo aku belum pernah nyoba, aku bilang belum bisa, mungkin aja bisa jadi bisa. Tuhan nggak pernah nyi-nyiain hambaNya yang berusaha.

Juga ada Syair dari Imam Syafi'i. ... Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.... 

Iya, berjuanglah. Kalo kalian udah nggak semangat berjuang, ingatlah sesuatu yang bisa ngebuat kalian semangat lagi. Orang tua, bayangin gimana senyum mereka jika dengar anaknya masuk universitas yang dinginin. Kalo kurang ampuh, mungkin pacar, gimana reaksi dia kalo denger kamu masuk jurusan yang kamu inginin. Kalo nggak punya pacar, mungkin gebetan, ini paling ampuh, buktiin kalo kalian mampu, buat dia terkesan dengan pencapaianmu.

Juga jangan takut ato malu cerita sama orang lain. Semakin kalian bercerita, semakin banyak orang yang mengamini. Tapi juga ada resikonya, ada yang nggak percaya, ada yang ngejek, malah ada yang ngejelek-jeleki. Ingat! ANJING cuma menggonggong ke orang yang gak dia kenal. Ya, namanya juga anjing.


They said my dreams is too big. I said they think too small -psd. (csw)




Kamis, 18 Juni 2015

Ramadhan Bercerita: Hari Pertama

Ada yang berbeda dari Ramadhan tahun ini. Aku harus melewati Ramadhan tanpa kegiatan sekolah. Bukan  karena Aku udah lulus. Belum. Libur Ramadhan penuh. Sekitar 6 mingguan.
 
Aku nggak tahu harus ngapain selama 6 minggu kedepan. Puasa, pasti. Tadarus, udah biasa. Ikut qiro’ah, udah pernah. Bingung.

Biasanya kalo sekolah, waktu rasanya lebih cepet dari hari libur. Paling nggak ketemu temen, apalagi kalo gebetan, makin cepet aja waktu terasa. Kalo nggak ada pelajaran, atau jam kosong, kan bisa main kartu: poker, remi, holdem poker. Kalo nggak gitu bisa main PES pake laptop temen. Kalo nggak gitu juga bisa main gitar, bisa WiFi an pake laptop temen juga, bisa tidur di kelas, ah, banyaklah.

Lebih-lebih, kalo libur, praktis aku nggak dapet jatah uang saku. Pemasukan hilang. 0. 

Mungkin kali ini liburan nggak semenarik sebelumnya. I hate holidays. I always hate holiday but I pretend to love it.

***

Hari ini puasa hari pertama. Kemarin Ayah, Ibu, Adik, Kakek pulang kampung. Ke rumah kakek: Trenggalek. 

Jadi, di puasa hari pertama Aku harus sahur bareng Kakak aja. Laki-laki juga! Hhehf!

Sebelum mereka berangkat Aku udah diwanti-wanti sama Ibu untuk beli gas LPG, bayar listrik, beli gas listrik, ini, itu. Banyak pokoknya. Sebelum mereka berangkat, Aku udah lupa.

***

Mati Aku! Belum beli gas. Mana sekarang jam 10 malam lagi. Besok sahur pake apa?

Sebelumnya kakakku, mungkin, mau bikin kopi.

Ctek! Ctek! Ctek!

Suara kompor gas yang dinyalain kakak. Tapi nggak nyala-nyala.

“Nggak bisa?” Tanyaku.

“Nggak, gas e habis.” 

“Beli o, tak kasih uang e!” Tanpa rasa bersalah. Padahal tadi udah di wanti-wanti sama Ibu.

Regulator dicabut, motor dikeluarin, Kakak cari gas, Aku mainan laptop.

Tapi nggak dapet.

Ah, nggak papa. Tapi sahur pake apa? 

Semoga Allah memberi pertolongan pada Hamba yang lalai ini.

Sebelum tidur, alarm handphone Aku set jam setengah tiga. 

***

TULALILULALILUT*ceritanya suara alarm.

Ah, masih jam setengah tiga tidur lagi.

Jam tiga bangun lagi, keinget kalo gas LPG habis.

Adeh! Sahur pake apa? Oiya inget kalo di kulkas, kata Ibu, ada telur puyuh mateng. Tapi kan dingin, bodo amat. Telur puyuhnya Aku taruh kedalem Rice cooker. Cerdaskan kan Aku. Terus tidur lagi. 

15 menit kemudian, kiranya cukuplah buat telurnya anget.

Pas lagi makan sahur, Ibu telfon.

“Udah bangun?” Tanya ibu setelah salam.

“Belum, ya udahlah.” Kataku bercanda.

“Udah beli gas?”

“Belum” Kataku santai.

“Iya kan kalo nggak tak ingetin mesti lupa. Sekarang beli o ke Pak Stu, nggak papa, orangnya juga pasti sahur. Sahur pake apa?”

 Muke gile sekarang jam 3 pagi suruh beli gas yang orang itu pun belum tentu udah bangun ato malah udah tidur lagi.” Pikirku

“Pake telur puyuh” Jawabku.

“Sekarang beli o gas LPG!”

“Nggak usah, nggak papa, udah makan”

“Kakak udah bangun?”

“Be….”

“Kalo nggak mau beli gas, beli makan di warung sana, banyak yang masih buka!” 

“Udah makan hampir habis ini!”

“Kakak udah bangun?”

“Belum”

“Segera bangunin, jangan lupa niat! Assalamu’akum.” 

“Niat apa? Niat bangunin atau niat puasa?” Pikirku.

“Wa’alaikumsalam.”

Kediri, 1 Ramadhan 1436 H, Juni 2015.




Selasa, 28 April 2015

Keraguan

Aku akan mengisahkan kepadamu sesuatu.

***

Seorang perempuan yang ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumahnya sendiri. Ada kekhawatiran di hatinya. Sebuah pertanyaan yang diulang-ulang sejak pertama kali berniat untuk kembali mendatangi rumah orangtuanya: ”Akankah ayah menerimaku kembali?”

Ia meyakinkan  diri untuk mengetuk pintu itu. Tiga kali. Sebelum akhirnya suara kunci dibuka dan seorang lelaki paruh baya muncul dari baliknya. “Kamu? Ngapain kamu kesini? Berani-beraninya kamu  datang lagi kesini?” Bentaknya.

Tak ada penjelasan. Perempuan itu hanya bisa menangis. Bibirnya bergetar. Berkali-kali menggelengkan kepala.”Ayah…” katanya lirih,”Ayah baik-baik saja? Aku kangen ayah…”

Lelaki itu terdiam, barangkali perasaan yang sama sedang mencoba masuk kedalam hatinya, sebelum kebencian kembali mengusirnya. “Pergi!” Bentaknya sekali lagi. “Sebaiknya kau segera pergi! Aku sudah tak menganggapmu sebagai anakku lagi!”

Perempuan itu semakin terisak, air matanya membanjiri tebing pipinya. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya, bahunya berguncang.

“Bukankah dulu kau lebih memilih menikahi lelaki Muslim itu daripada tetap menjadi anakku?” Pertanyaan ayahnya kembali mengingatkan perempuan itu pada peristiwa dua tahun lalu. Ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang lelaki yang berseberangan agama, yang begitu ia cintai. Keputusan yang begitu menyakitkan, tersebab harus menjatuhkannya pada dua pilihan sulit: Merengkuh cintanya dengan melepas cinta yang lain, atau sebaliknya?

 “Aku mencintainya, Ayah. Sebesar ia mencintaiku.” Jawab perempuan itu dengan suara tercekat, di sela-sela tangisnya.

“Cinta? Itulah yang membuatmu harus pergi dari rumah ini! Kau bukan anakku lagi!” Bentak lelaki itu.

“Ayah… Cinta jugalah yang membuatku memutuskan untuk mengetuk pintu rumah ini lagi. Aku mencintaimu, Ayah, seperti aku juga tahu ayah mencintaiku!” Air matanya semakin membanjiri pipinya.

Hening.

Lelaki itu menutup pintu, membuka pintunya lagi, melongokan kepalanya keluar. ”Sebaiknya kau segera pergi.”  Katanya lirih. Ia memasukkan kepalanya dan menutup pintunya kembali juga menguncinya. “Dan jangan pernah kau kesini lagi.” Lelaki itu berteriak dari balik pintunya yang tertutup.

Si perempuan, sambil terus menangis, juga untuk kesekian kalinya harus pergi dari rumah itu, dengan perasaan yang tak mungkin dijelaskan:Angin bertiup perlahan, mengangkat helai-helai halus rambut yang menempel karna basah air mata pada pipinya. Tetapi ia berusaha melambatkan langkahnya, berharap ayahnya membuka pintu dan memanggilnya kembali: Untuk sebuah senyum dan pelukan. Aku akan selalu menjadi peragu, katanya dalam hati, sedikitpun aku tak akan pernah meyakini bahwa ayah tak akan menerimaku kembali.

Didalam rumah, sambil bersandar ke pintu yang baru saja ia tutup kembali untuk putri kesayanganna, lelaki itu untuk kesekian kalinya juga menangis. Betapa berat ia yang harus berdiri di atas kenyataan bahwa apa yang ia yakini harus memisahkannya dari putri yang sangat ia cintai. Tuhan, haruskah aku meragukan semuanya? Demikian ia selalu berdoa: Aku ingin merasakan keyakinan yang bisa membukakan pintu maafku untuk kembali mendekap putri kesayanganku….

Maka ia buka kembali pintu yang baru saja ia kunci, sambil membyangkan senyum outrinya yang sangat ia cintai: Dan disanalah cinta mebongkar batas-batas keyakinan.

“Patricia!” Lelaki itu memanggil ama putrinya lagi. Sayang, tak ada jawaban. Kosong. Hanya angin dan isak yang tertahan.

Ia tahu kini semuanya sudah terlambat, tetapi kelegaan merambati hatinya:”Mulai hari ini, aku akan menjadi peragu.” Katanya, “Aku tak akan pernah mmeyakini bahwa Patricia tak akan kembali ke rumah ini lagi.”

***

Kini, kita bisa melihat kisah itu, sekali lagi, sambil menghayati sebaris kalimat sakti yang pernah dituliskan Amin Maalouf: Jika keyakinan mengajarkan kebencian, terberkatilah orang-orang yang meragu.

Demikianlah kisah itu diceritakan. Barangkali, seperti kisahmu, seperti banyak orang yang mengalaminya, tapi dalam detil yang berbeda.

Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

Keberkahan II

“Berkah?” Aku bertanya.

Tuan Setan mengangguk. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya jadi terlihat sedih. “Ya.” Jawabnya, “Sesuatu yang pernah kumiliki dan kusia-siakan. Kedengarannya lucu aku mengajarkanmu tentang berkah padahal aku tak lagi memilikinya.”

Hening.

Aku menatap mata Tuan Setan yang menjadi layu.

“Apa itu berkah?” Aku benar-benar ingin tahu.

“Sungai yang mengalir.” Jawab Tuan Setan, “Sesuatu yang tak bisa dihitung, tetapi menghidupkan.”

“Aku belum mengerti.”

“Bayangkanlah sungai yang mengalir. Airnya tak bisa dihitung sebab ia terus mengalir. Ada siklus yang tak pernah putus memberinya kehidupan. Lalu ia bisa menghidupi ikan dan makhluk lain dalam dirinya, ia menumbuhkan tanaman di sekelilingnya, ia membersihkan batu-batu dan menyuburkan tanah. Hiduplah seperti sungai yang mengalir. Jangan membendungnya lalu menghitung semuannya.” Suara Tuan Setan semakin melemah.

Aku mengangguk, menyetujui hampir semua kata-katanya. Tiba-tiba angka berlepasan dari dalam pikiranku. Berapa yang kudapatkan? Betapa kecil dan terbatas. Tetapi bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup sejauh ini? Mengapa tiba-tiba semua hitungan tak bisa menemukan faktor yang menyelamatkan seluruh neraca kecukupan kebutuhan hidupku? Ada sesuatu yang aneh sekaligus misterius dalam hidupku. Sesuatu yang entah bagaimana caranya, tak pernah berhenti, menolongku untuk memenuhi hal-hal yang aku butuhkan dalam hidupku.

Hening.

Kami menunduk dalam kegelisahan kami masing-masing.

“Terima kasih, Tuan Setan, entah untuk keberapa kalinya.” Berat memang, tetapi aku harus mengatakannya.

Tuan Setan menatapku, mengangguk senang. “My pleasure.” Jawabnya riang.

Aku tersenyum. Tuan Setan tersenyum.

“Berhentilah gelisah. Tak usah terlalu percaya pada hitung-hitungan. Hiduplah dalam keberkahan. Lihatlah dari apa yang sudah kualami selama jutaan tahun cahaya.” Katanya.

Aku mengangguk. Mulai malam ini, rasanya aku tak peduli lagi pada harga BBM yang selalu naik juga harga bahan pokok yang selalu mengalami inflasi. Aku tak inigin hidup dalam hitung-hitungan.

“Berbahagialah dalam keberkahan.” Kata Tuan Setan sebelum ia pergi, “Jadilah sungai yang mengalir. Cukup aku yang menderita. Cukuplah aku yang menjadi sungai tersumbat yang telah ditolak untuk pulang pada laut.”


Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing


Senin, 06 April 2015

Keberkahan I



“Ah, lagi-lagi harga BBM naik lagi. Pasti semua harga juga bakalan naik. Semua tarif transportasi umum juga bakalan naik. Apalagi keadaan rupiah yang semakin melemah. Mungkinkah aku akan sanggup bertahan hidup dengan penghasilan pas-pasan?” Malam itu, di depan cermin, kegelisahanku tentang uang dan hal-hal sekelilingnya buncah.

“Hekhekhek.” Ada suara, ah, ternyata Tuan Setan terkekeh mendengar kata-kataku. Tiba-tiba ia disampingku, menghadap cermin. “Jangan percaya dengan hitung-hitungan.” Sekilas ia melihat langsung ke wajahku, lalu kembali pandangannya ke cermin, ke wajahku juga.

“Apa? Jangan percaya hitung-hitungan? Gila! Bisa berantakan kalau nggak dihitung baik-baik. Berapa untuk bayar listrik, biaya transportasi, biaya komunikasi, konsumsi. Apalagi sekarang harga bahan pokok nggak menentu. Bisa kacau semua kalau nggak dihitung baik-baik. Seharusnya aku masuk jurusan ekonomi! Aku butuh perencana keuangan!”

Tuan Setan terkekeh lagi, jambul merahnya bergerak-gerak.

“Jangan ketawa!” Aku membentaknya. “Kamu sih enak nggak perlu mikirin tentang pemasukan-pengeluaran. Tinggal pikirkan apa yang kamu mau, semua tersedia. Sedangkan aku?  Aku harus bekerja siang-malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhanku!”

“Sudahlah.” Jawabnya kalem.

“Sudahlah? Kamu yang se…”

“Jangan percaya hitung-hitungan. Bukankah apa yang sudah kamu usahakan selama ini hanya berfungsi untuk terus-menerus membuatmu tahu bahwa segalanya tak mungkin cukup? Jangan percaya pada hitung-hitungan!” 

“Terserah apa yang kamu katakan!” 

“Jangan jadi makhluk yang merendahkan dirinya di hadapan makhluk lain bernama uang!” Ia melanjutkan. “Untuk apa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia jika kamu tak bisa memahaminya?”

Aku terhenyak. Tak percaya Tuan Setan bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi egoku seketika menolaknya: Aku tak mau digurui setan! “Apa maksudmu?” Di sisa-sisa kecemasan, dengan dada berguncang dan kening berkerut, aku berusaha bertahan dengan pertanyaan itu.

Tuan Setan kembali terkekeh. Sekarang ia berada didepanku.

“Masuklah kedalam kehidupan seluruh perencana keuangan. Tak ada yang lebih gelisah di atas dunia ini kecuali mereka!”

Keningku semakin mengerut, akalku belum berhasil menangkap apa yang diungakapkan oleh Tuan Setan. Tapi egoku masih ingin menolaknya.

“Omong kosong!” Bentakku.

Hening. Tuan Setan lekat menatapku.

“Kau yang omong kosong!” Tiba-tiba Tuan Setan balik membentakku. Bulu-bulu di punggungnya berdiri dan tubuhnya seketika membesar dua kali lipat dari ukuran sebelumnya, ada api di dalam matanya.

“Sial!” Aku mengumpat dalam hati. “Ini tidak fair!” Tapi wujud Tuan Setan kali ini membuat nyaliku menciut seciut-ciutnya.

Hening. Tuan Setan masih lekat menatapku
.
“Apa itu rejeki?” Tanya Tuan Setan.

Aku terdiam.

“Pemasukan dan pengeluaran? Apa yang kau hasilkan dan apa yang kau belanjakan? Cih! Betapa dangkal pikiranmu!”

Aku terdiam
.
“Dengarlah! Rejeki adalah apa yang masuk dan keluar menuju dan dari dalam dirimu! Udara, keringat, air, kentutmu, kencingmu, tawamu, air matamu, ingusmu, kebahagiaanmu, pikiranmu, kegelisahanmu, rambut yang tumbuh di seluruh tubuhmu, kedip matamu, semuanya, itulah rejeki!”

Aku terdiam.

“Jangan percaya pada hitung-hitungan! Kenyataannya, kau tak mungkin menghitung semuanya! Sampai kapanpun, apa yang kau hasilkan dan apa yang kau dapatkan, tak mungkin cukup untuk membayar semuanya! Hiduplah untuk memenuhi apa yang kau butuhkan, matilah jika terus-menerus menjadi budak bagi apa yang kau inginkan!”

Aku terdiam. Tiba-tiba ada yang berdenyar dalam dadaku. Tiba-tiba lutuku jadi lemas. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Dan tiba-tiba suaraku jadi lemah
.
“Hiduplah dalam keberkahan, buka dalam hitung-hitungan!” Jawab Tuan Setan.

Hening. Kami bersitatap sangat lekat.

“Berkah?” Aku bertanya.

Bersambung.
 
Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

Minggu, 29 Maret 2015

Esensi Laut

Aku membayangkan bagaimana jika sungai-sungai mengkhianati kodratnya untuk kembali kepada laut. Kemanakah mereka akan pulang?

Aku membayangkan sungai yang lupa jalan pulang, atau sengaja melupakannya. Membendung dirinya sendiri dengan macam-macam penyumbat: Batu-batu , sandal jepit, plastik, kayu, botol, pembalut, atau apa saja. Airnya menjadi kotor dan menggenang. Nyamuk-nyamuk bertelur disana, kuman-kuman berkembang biak. Orang-orang membencinya, menjauhinya. Tapi, pada akhirnya, sungai yang ‘amnesia’ dan keras kepala ini toh akan kembali pulang juga. Matahari akan menguapkannya menjadi udara, kemudian di langit dipersatukan oleh angin menjadi awan, dan akan diubah menjadi hujan. Bagaimanapun ia akan mengalir lagi, dan demikianlah: Pada akhirnya ke laut juga.

Aku membayangkan sungai-sungai yang dicemari limbah dan sampah. Mungkin dirinya tak mau dikotori, inginnya mengalir saja sebagai dirinya sendiri, yang bersih dan baik, hingga sampai laut. Tetapi susah memang, perjalanannya yang panjang, pertemuannya dengan aliran lain, manusia yang bermacam-macam, pedesaan dan perkotaan yang dengan kehidupan tak terduga, membuatnya tak bisa terhindar dari ‘sampah dan limbah’

Aku tak pernah mendengar satupun cerita tentang laut yang menolak sungai dengan latar belakang apapun untuk bermuara kepadanya. Jika ia tersumbat, dan airnya yang kotor menjadi tergenang. Seperti cerita sungai sebelumnya, siklus hidrologi akan membuatnya kembali ke laut.

Aku membayangkan sungai yang ‘bersih dan baik’. Sungai yang beruntung mengalir di desa tempat tinggal orang-orang baik. Terkadang ada ibu-ibu yang mencuci di sepanjang alirannya, anak-anak yang berenang dengan riang, juga cerita-cerita menyenangkan lainnya seperti kisah cinta remaja. Betapa bahagianya mereka, sungai-sungai ini, hidup mereka tenang. Dan akhirnya akan kembali dengan tenang, ke laut.

Aku membayangkan sungai yang merusak. Sungai yang mampu menggerus tanah disampingnya, menyeret pohon yang berada di lereng sungai, menghancurkan rumah orang, juga menyeret orang karena alirannya yang sangat deras. Dan akhirnya akan kembali dengan derasnya aliran beserta isinya, ke laut.

Aku membayangkan laut sebagai tempat kembali yang demikian lapang dan baik hati. Ia selalu bersedia menampung semua sungai yang datang kepadanya. Sungai yang bersih dan kotor, yang lancar dan sempat tersumbat, yang tenang dan tidak tenang, semua diterimanya. Semua jenis air akan menjadi suci dalam dekapannya.

***

Aku membayangkan seorang alim dan baik hati yang diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayangkan seorang pelacur yang memberi minum kepada seekor anjing diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayang pembunuh yang diampuni dalam perjalanan taubatnya diterima dalam dekapan Tuhannya. Betapa agung.

Aku membayangkan dan bertanya-tanya, jika Tuhan digambarkan sedemikian bengis: tak mau menerima sebagian makhluknya yang dianggap kotor dan berdosa, kemanakah sesungguhnya mereka akan kembali? Ke laut? Tentu saja tidak. Aku membayangkan Tuhan yang terlanjur diceritakan manusia dengan cara-cara yang salah dan menakutkan!

Kini, aku tak lagi membayangkan, aku meyakininya dengan sungguh-sungguh: Tuhan lebih besar daripada laut, lebih luas dari semesta, lebih agung dari segalanya. Maka tak usah ragu untuk kembali, tak usah merasa bukan siapa-siapa, teruslah mengalir: Tuhan tak akan menolakmu dan akan selalu menerimamu!

***

Aku membayang akan meneruskan kalimat ini, mengatakannya seperti seorang sahabat duduk disampingmu, merangkul pundakmu dan berkata: Mengalirlah, sesungguhnya air bersih yang diam lebih busuk daripada air kotor yang mengalir.

Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

Minggu, 01 Maret 2015

Halo, Nama Saya..

Oiya, udah beberapa kali nge-post(hanya beberapa yang penting, lainnya nggak), saya belum pernah sekalipun memperkenalkan diri saya.
Oke, Langsung saja.

Nama saya Candra Setiawan Wibisono. Saya biasa dipanggil Candra. Nah, dari situlah panggilan saya dikembangin jadi beberapa nama. Contohnya, Cancan, Bek can, Dakocan, dll.

Umur saya masih 17 tahun(sekarang). Saat ini saya masih SMA, tepatnya di SMAN 2 Pare-Kediri. Saya nggak terlalu aktif di organisasi-organisasi di sekolah(oh ya? kalo nggak aktif kenapa diceritain).

Hobi saya Sepakbola, main game sepakbola, dll. Cita-cita saya, cita-cita? saya gak punya cita-cita(jangan conto saya).
Saya pernah ditanya sama guru kimia saya "Kamu, cita-citanya apa?"
"Nggak tau, bu" Jawab saya.
"Masak nggak tau, udah SMA kok nggak tau cita-citanya apa"
Saya masih diam.
"Kamu itu udah SMA, seharusnya udah tau cita-citamu apa, mau jadi apa. Makanya mulai dari sekarang(SMA) dipersiapkan" Beliau nasehatin saya, ditambah temen satu kelas saya.

Pengen banget saya jawab gini.
Karena saya orangnya Fleksibel. Bayangin aja kalo orang punya cita-cita dan dia mengejarnya mati-matian, jika didepannya ada tembok yang menghalang. Jika dia beruntung, atau tahu cara ngelewatinnya, dia akan mudah menembusnya. Tapi, kalo orang yang gak bisa menembusnya, dia bakalan mati ditempat. Kalo orang yang gak punya cita-cita sih, bisa belok dengan mudah. Dan kembali ke kehidupan yang ingin dijalaninya.

"Hidup seperti air mengalir." Saya jadi airnya, bukan yang hanyut di air. Jadi air yang bisa buat arus yang bisa menghanyutkan batu, pohon, orang, kadang cuma tainya. Kadang arusnya anteng, kadang arusnya deras. Kadang jadi bencana, kadang jadi anugrah. Tergantung situasi dan kondisi.


Oiya?selain Blogger amatiran, saya juga punya FB & Twiiter.
www.facebook.com/candra.prasprototo. Please, add me!.
twitter.com/Candrasw_.Follow me, please!.

Kalo mau kirim email, ato tukeran Link, bisa kirim ke candrainase@gmail.com aja. Dan kita bisa sambil Sharing tentang apapun. Saya pun bisa belajar lebih dari anda.

So... you must promise, if you'll be back again.(csw) 

Cerita Ringan Hari Ini


Pada suatu hari, keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis memilukan selama berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, Si Petani memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur itu juga perlu ditimbun, jadi tidak berguna menolong si keledai. Dia melakukannya agar tidak ada yang terjatuh lagi di sumur yang sama.

Si Petani mengajak tetangga2nya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah kedalam sumur. Ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian.

Tetapi kemudian semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan kedalam sumur, si petani melihat kedalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya. Walaupun punggungnya terus ditimpa tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya jatuh kebawah, lalu ia menaiki tanah itu. Sementara si petani dan tetangga2nya terus menuangkan tanah kotor keatas punggung hewan itu, si keledai terus juga mengguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri!

THINGS TO LEARN:
Kehidupan itu terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran, cara keluar dari 'sumur' (kesedihan, masalah, dll) adalah dengan mengguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hari kita) dan melangkah naik dari "sumur" dengan menggunakan hal-hal tersebut sebahai pijakan. Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari 'sumur' yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah!
Remember the rules of happines
:
1. Bebaskan dirimu dari kebencian (orang yang hidup dengan benci tidak akan pernah bahagia)
2. Bebaskanlah pikiranmu dari kecemasan
3. Hiduplah sederhana
4. Berilah lebih banyak
5. Berharaplah lebih sedikit
6. Tersenyumlah
7. Miliki teman yang bisa membuatmu tersenyum

Sumber : http://rediscoveringatlantis.blogspot.com/2009/12/cerita-ringan-hari-ini.html

Jumat, 27 Februari 2015

Konsep Bahagia

Konsep bahagia tiap orang itu berbeda, ada yang baru merasakan bahagia kalau ada di bawah sorotan, dipuja puja, dibanggakan, ada yang bahagia saat punya uang banyak, ada yang bahagia setelah barang yang mau dibeli akhirnya kebeli juga. Masih Banyak. Kebahagian saya sederhana, ketika saya bisa membuat orang disekitar saya senyum. Kadang harus ngalah, harus mundur beberapa langkah supaya saat berada dibawah sorotan, bayangan yang tercipta tidak terlalu besar dan nutupin yang dibelakang, kadang harus ngelakuin hal bodoh untuk ngehibur mereka.. Satu hal yang paling saya ingat adalah kalimat "Bukan karna bahagia kita lalu bersyukur, tapi karna kita slalu bersyukur akan slalu bahagia".
Saya punya teman penggerutu, sedih lihatnya, sepertinya semua yang dia dapat tidak bisa membuat dia puas, dia terus dan terus dan terus menggerutu sampai lupa apa saja yang sudah dia dapat dan dia dapat dari mana, sedih tapi senang, karena disitu saya selalu diingatkan untuk bahagia, untuk lebih berhati besar dan ingat semua ini dapet darimana. Dan tidak sedetikpun saya ragu untuk menaruh kebahagiaan itu kembali ketempat yang membuat saya bahagia.
Ingat, semua akan kembali ke tanah. Ingat, setinggi apa kamu meloncat, gravitasi akan selalu menang. Kebahagiaan itu bukan saat ada diatas langit, tapi ditanah dimana kamu berasal. Pergilah mencari kebahagiaan dan bawa kebahagiaan itu pulang. Orang yang bersyukur adalah orang yang selalu ingat jalan pulang. Always remember where you came from. And always remember that happiness is like a bag of weed, you have to share it with your family or friends.

Kebahagiaan tidak ada tanggal kadaluarsanya, tapi, tanggal produksinya harus ditetapkan sendiri, lalu distribusikanlah.

Sumber : http://rediscoveringatlantis.blogspot.com/2011/10/konsep-bahagia.html dengan sedikit perubahan
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts