Minggu, 29 Maret 2015

Esensi Laut

Aku membayangkan bagaimana jika sungai-sungai mengkhianati kodratnya untuk kembali kepada laut. Kemanakah mereka akan pulang?

Aku membayangkan sungai yang lupa jalan pulang, atau sengaja melupakannya. Membendung dirinya sendiri dengan macam-macam penyumbat: Batu-batu , sandal jepit, plastik, kayu, botol, pembalut, atau apa saja. Airnya menjadi kotor dan menggenang. Nyamuk-nyamuk bertelur disana, kuman-kuman berkembang biak. Orang-orang membencinya, menjauhinya. Tapi, pada akhirnya, sungai yang ‘amnesia’ dan keras kepala ini toh akan kembali pulang juga. Matahari akan menguapkannya menjadi udara, kemudian di langit dipersatukan oleh angin menjadi awan, dan akan diubah menjadi hujan. Bagaimanapun ia akan mengalir lagi, dan demikianlah: Pada akhirnya ke laut juga.

Aku membayangkan sungai-sungai yang dicemari limbah dan sampah. Mungkin dirinya tak mau dikotori, inginnya mengalir saja sebagai dirinya sendiri, yang bersih dan baik, hingga sampai laut. Tetapi susah memang, perjalanannya yang panjang, pertemuannya dengan aliran lain, manusia yang bermacam-macam, pedesaan dan perkotaan yang dengan kehidupan tak terduga, membuatnya tak bisa terhindar dari ‘sampah dan limbah’

Aku tak pernah mendengar satupun cerita tentang laut yang menolak sungai dengan latar belakang apapun untuk bermuara kepadanya. Jika ia tersumbat, dan airnya yang kotor menjadi tergenang. Seperti cerita sungai sebelumnya, siklus hidrologi akan membuatnya kembali ke laut.

Aku membayangkan sungai yang ‘bersih dan baik’. Sungai yang beruntung mengalir di desa tempat tinggal orang-orang baik. Terkadang ada ibu-ibu yang mencuci di sepanjang alirannya, anak-anak yang berenang dengan riang, juga cerita-cerita menyenangkan lainnya seperti kisah cinta remaja. Betapa bahagianya mereka, sungai-sungai ini, hidup mereka tenang. Dan akhirnya akan kembali dengan tenang, ke laut.

Aku membayangkan sungai yang merusak. Sungai yang mampu menggerus tanah disampingnya, menyeret pohon yang berada di lereng sungai, menghancurkan rumah orang, juga menyeret orang karena alirannya yang sangat deras. Dan akhirnya akan kembali dengan derasnya aliran beserta isinya, ke laut.

Aku membayangkan laut sebagai tempat kembali yang demikian lapang dan baik hati. Ia selalu bersedia menampung semua sungai yang datang kepadanya. Sungai yang bersih dan kotor, yang lancar dan sempat tersumbat, yang tenang dan tidak tenang, semua diterimanya. Semua jenis air akan menjadi suci dalam dekapannya.

***

Aku membayangkan seorang alim dan baik hati yang diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayangkan seorang pelacur yang memberi minum kepada seekor anjing diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayang pembunuh yang diampuni dalam perjalanan taubatnya diterima dalam dekapan Tuhannya. Betapa agung.

Aku membayangkan dan bertanya-tanya, jika Tuhan digambarkan sedemikian bengis: tak mau menerima sebagian makhluknya yang dianggap kotor dan berdosa, kemanakah sesungguhnya mereka akan kembali? Ke laut? Tentu saja tidak. Aku membayangkan Tuhan yang terlanjur diceritakan manusia dengan cara-cara yang salah dan menakutkan!

Kini, aku tak lagi membayangkan, aku meyakininya dengan sungguh-sungguh: Tuhan lebih besar daripada laut, lebih luas dari semesta, lebih agung dari segalanya. Maka tak usah ragu untuk kembali, tak usah merasa bukan siapa-siapa, teruslah mengalir: Tuhan tak akan menolakmu dan akan selalu menerimamu!

***

Aku membayang akan meneruskan kalimat ini, mengatakannya seperti seorang sahabat duduk disampingmu, merangkul pundakmu dan berkata: Mengalirlah, sesungguhnya air bersih yang diam lebih busuk daripada air kotor yang mengalir.

Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts