Aku membayangkan sungai yang lupa jalan pulang, atau sengaja
melupakannya. Membendung dirinya sendiri dengan macam-macam penyumbat:
Batu-batu , sandal jepit, plastik, kayu, botol, pembalut, atau apa saja. Airnya
menjadi kotor dan menggenang. Nyamuk-nyamuk bertelur disana, kuman-kuman
berkembang biak. Orang-orang membencinya, menjauhinya. Tapi, pada akhirnya,
sungai yang ‘amnesia’ dan keras kepala ini toh akan kembali pulang juga.
Matahari akan menguapkannya menjadi udara, kemudian di langit dipersatukan oleh
angin menjadi awan, dan akan diubah menjadi hujan. Bagaimanapun ia akan
mengalir lagi, dan demikianlah: Pada
akhirnya ke laut juga.
Aku membayangkan sungai-sungai yang dicemari limbah dan
sampah. Mungkin dirinya tak mau dikotori, inginnya mengalir saja sebagai
dirinya sendiri, yang bersih dan baik, hingga sampai laut. Tetapi susah memang,
perjalanannya yang panjang, pertemuannya dengan aliran lain, manusia yang
bermacam-macam, pedesaan dan perkotaan yang dengan kehidupan tak terduga,
membuatnya tak bisa terhindar dari ‘sampah dan limbah’
Aku tak pernah
mendengar satupun cerita tentang laut yang menolak sungai dengan latar belakang
apapun untuk bermuara kepadanya. Jika ia tersumbat, dan airnya yang kotor
menjadi tergenang. Seperti cerita sungai sebelumnya, siklus hidrologi akan
membuatnya kembali ke laut.
Aku membayangkan sungai yang ‘bersih dan baik’. Sungai yang
beruntung mengalir di desa tempat tinggal orang-orang baik. Terkadang ada
ibu-ibu yang mencuci di sepanjang alirannya, anak-anak yang berenang dengan
riang, juga cerita-cerita menyenangkan lainnya seperti kisah cinta remaja.
Betapa bahagianya mereka, sungai-sungai ini, hidup mereka tenang. Dan akhirnya
akan kembali dengan tenang, ke laut.
Aku membayangkan sungai yang merusak. Sungai yang mampu
menggerus tanah disampingnya, menyeret pohon yang berada di lereng sungai,
menghancurkan rumah orang, juga menyeret orang karena alirannya yang sangat
deras. Dan akhirnya akan kembali dengan derasnya aliran beserta isinya, ke
laut.
Aku membayangkan laut sebagai tempat kembali yang demikian
lapang dan baik hati. Ia selalu bersedia menampung semua sungai yang datang
kepadanya. Sungai yang bersih dan kotor, yang lancar dan sempat tersumbat, yang
tenang dan tidak tenang, semua diterimanya. Semua
jenis air akan menjadi suci dalam dekapannya.
***
Aku membayangkan seorang alim dan baik hati yang diterima
dalam dekapan Tuhannya. Aku membayangkan seorang pelacur yang memberi minum
kepada seekor anjing diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayang pembunuh
yang diampuni dalam perjalanan taubatnya diterima dalam dekapan Tuhannya.
Betapa agung.
Aku membayangkan dan bertanya-tanya, jika Tuhan digambarkan
sedemikian bengis: tak mau menerima sebagian makhluknya yang dianggap kotor dan
berdosa, kemanakah sesungguhnya mereka akan kembali? Ke laut? Tentu saja tidak.
Aku membayangkan Tuhan yang terlanjur diceritakan manusia dengan cara-cara yang
salah dan menakutkan!
Kini, aku tak lagi membayangkan, aku meyakininya dengan
sungguh-sungguh: Tuhan lebih besar
daripada laut, lebih luas dari semesta, lebih agung dari segalanya. Maka
tak usah ragu untuk kembali, tak usah merasa bukan siapa-siapa, teruslah
mengalir: Tuhan tak akan menolakmu dan
akan selalu menerimamu!
***
Aku membayang akan meneruskan kalimat ini, mengatakannya
seperti seorang sahabat duduk disampingmu, merangkul pundakmu dan berkata: Mengalirlah, sesungguhnya air bersih yang
diam lebih busuk daripada air kotor yang mengalir.
Djibran,
Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing
0 komentar:
Posting Komentar