Selasa, 28 April 2015

Keraguan

Aku akan mengisahkan kepadamu sesuatu.

***

Seorang perempuan yang ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumahnya sendiri. Ada kekhawatiran di hatinya. Sebuah pertanyaan yang diulang-ulang sejak pertama kali berniat untuk kembali mendatangi rumah orangtuanya: ”Akankah ayah menerimaku kembali?”

Ia meyakinkan  diri untuk mengetuk pintu itu. Tiga kali. Sebelum akhirnya suara kunci dibuka dan seorang lelaki paruh baya muncul dari baliknya. “Kamu? Ngapain kamu kesini? Berani-beraninya kamu  datang lagi kesini?” Bentaknya.

Tak ada penjelasan. Perempuan itu hanya bisa menangis. Bibirnya bergetar. Berkali-kali menggelengkan kepala.”Ayah…” katanya lirih,”Ayah baik-baik saja? Aku kangen ayah…”

Lelaki itu terdiam, barangkali perasaan yang sama sedang mencoba masuk kedalam hatinya, sebelum kebencian kembali mengusirnya. “Pergi!” Bentaknya sekali lagi. “Sebaiknya kau segera pergi! Aku sudah tak menganggapmu sebagai anakku lagi!”

Perempuan itu semakin terisak, air matanya membanjiri tebing pipinya. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya, bahunya berguncang.

“Bukankah dulu kau lebih memilih menikahi lelaki Muslim itu daripada tetap menjadi anakku?” Pertanyaan ayahnya kembali mengingatkan perempuan itu pada peristiwa dua tahun lalu. Ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang lelaki yang berseberangan agama, yang begitu ia cintai. Keputusan yang begitu menyakitkan, tersebab harus menjatuhkannya pada dua pilihan sulit: Merengkuh cintanya dengan melepas cinta yang lain, atau sebaliknya?

 “Aku mencintainya, Ayah. Sebesar ia mencintaiku.” Jawab perempuan itu dengan suara tercekat, di sela-sela tangisnya.

“Cinta? Itulah yang membuatmu harus pergi dari rumah ini! Kau bukan anakku lagi!” Bentak lelaki itu.

“Ayah… Cinta jugalah yang membuatku memutuskan untuk mengetuk pintu rumah ini lagi. Aku mencintaimu, Ayah, seperti aku juga tahu ayah mencintaiku!” Air matanya semakin membanjiri pipinya.

Hening.

Lelaki itu menutup pintu, membuka pintunya lagi, melongokan kepalanya keluar. ”Sebaiknya kau segera pergi.”  Katanya lirih. Ia memasukkan kepalanya dan menutup pintunya kembali juga menguncinya. “Dan jangan pernah kau kesini lagi.” Lelaki itu berteriak dari balik pintunya yang tertutup.

Si perempuan, sambil terus menangis, juga untuk kesekian kalinya harus pergi dari rumah itu, dengan perasaan yang tak mungkin dijelaskan:Angin bertiup perlahan, mengangkat helai-helai halus rambut yang menempel karna basah air mata pada pipinya. Tetapi ia berusaha melambatkan langkahnya, berharap ayahnya membuka pintu dan memanggilnya kembali: Untuk sebuah senyum dan pelukan. Aku akan selalu menjadi peragu, katanya dalam hati, sedikitpun aku tak akan pernah meyakini bahwa ayah tak akan menerimaku kembali.

Didalam rumah, sambil bersandar ke pintu yang baru saja ia tutup kembali untuk putri kesayanganna, lelaki itu untuk kesekian kalinya juga menangis. Betapa berat ia yang harus berdiri di atas kenyataan bahwa apa yang ia yakini harus memisahkannya dari putri yang sangat ia cintai. Tuhan, haruskah aku meragukan semuanya? Demikian ia selalu berdoa: Aku ingin merasakan keyakinan yang bisa membukakan pintu maafku untuk kembali mendekap putri kesayanganku….

Maka ia buka kembali pintu yang baru saja ia kunci, sambil membyangkan senyum outrinya yang sangat ia cintai: Dan disanalah cinta mebongkar batas-batas keyakinan.

“Patricia!” Lelaki itu memanggil ama putrinya lagi. Sayang, tak ada jawaban. Kosong. Hanya angin dan isak yang tertahan.

Ia tahu kini semuanya sudah terlambat, tetapi kelegaan merambati hatinya:”Mulai hari ini, aku akan menjadi peragu.” Katanya, “Aku tak akan pernah mmeyakini bahwa Patricia tak akan kembali ke rumah ini lagi.”

***

Kini, kita bisa melihat kisah itu, sekali lagi, sambil menghayati sebaris kalimat sakti yang pernah dituliskan Amin Maalouf: Jika keyakinan mengajarkan kebencian, terberkatilah orang-orang yang meragu.

Demikianlah kisah itu diceritakan. Barangkali, seperti kisahmu, seperti banyak orang yang mengalaminya, tapi dalam detil yang berbeda.

Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

Keberkahan II

“Berkah?” Aku bertanya.

Tuan Setan mengangguk. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya jadi terlihat sedih. “Ya.” Jawabnya, “Sesuatu yang pernah kumiliki dan kusia-siakan. Kedengarannya lucu aku mengajarkanmu tentang berkah padahal aku tak lagi memilikinya.”

Hening.

Aku menatap mata Tuan Setan yang menjadi layu.

“Apa itu berkah?” Aku benar-benar ingin tahu.

“Sungai yang mengalir.” Jawab Tuan Setan, “Sesuatu yang tak bisa dihitung, tetapi menghidupkan.”

“Aku belum mengerti.”

“Bayangkanlah sungai yang mengalir. Airnya tak bisa dihitung sebab ia terus mengalir. Ada siklus yang tak pernah putus memberinya kehidupan. Lalu ia bisa menghidupi ikan dan makhluk lain dalam dirinya, ia menumbuhkan tanaman di sekelilingnya, ia membersihkan batu-batu dan menyuburkan tanah. Hiduplah seperti sungai yang mengalir. Jangan membendungnya lalu menghitung semuannya.” Suara Tuan Setan semakin melemah.

Aku mengangguk, menyetujui hampir semua kata-katanya. Tiba-tiba angka berlepasan dari dalam pikiranku. Berapa yang kudapatkan? Betapa kecil dan terbatas. Tetapi bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup sejauh ini? Mengapa tiba-tiba semua hitungan tak bisa menemukan faktor yang menyelamatkan seluruh neraca kecukupan kebutuhan hidupku? Ada sesuatu yang aneh sekaligus misterius dalam hidupku. Sesuatu yang entah bagaimana caranya, tak pernah berhenti, menolongku untuk memenuhi hal-hal yang aku butuhkan dalam hidupku.

Hening.

Kami menunduk dalam kegelisahan kami masing-masing.

“Terima kasih, Tuan Setan, entah untuk keberapa kalinya.” Berat memang, tetapi aku harus mengatakannya.

Tuan Setan menatapku, mengangguk senang. “My pleasure.” Jawabnya riang.

Aku tersenyum. Tuan Setan tersenyum.

“Berhentilah gelisah. Tak usah terlalu percaya pada hitung-hitungan. Hiduplah dalam keberkahan. Lihatlah dari apa yang sudah kualami selama jutaan tahun cahaya.” Katanya.

Aku mengangguk. Mulai malam ini, rasanya aku tak peduli lagi pada harga BBM yang selalu naik juga harga bahan pokok yang selalu mengalami inflasi. Aku tak inigin hidup dalam hitung-hitungan.

“Berbahagialah dalam keberkahan.” Kata Tuan Setan sebelum ia pergi, “Jadilah sungai yang mengalir. Cukup aku yang menderita. Cukuplah aku yang menjadi sungai tersumbat yang telah ditolak untuk pulang pada laut.”


Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing


Senin, 06 April 2015

Keberkahan I



“Ah, lagi-lagi harga BBM naik lagi. Pasti semua harga juga bakalan naik. Semua tarif transportasi umum juga bakalan naik. Apalagi keadaan rupiah yang semakin melemah. Mungkinkah aku akan sanggup bertahan hidup dengan penghasilan pas-pasan?” Malam itu, di depan cermin, kegelisahanku tentang uang dan hal-hal sekelilingnya buncah.

“Hekhekhek.” Ada suara, ah, ternyata Tuan Setan terkekeh mendengar kata-kataku. Tiba-tiba ia disampingku, menghadap cermin. “Jangan percaya dengan hitung-hitungan.” Sekilas ia melihat langsung ke wajahku, lalu kembali pandangannya ke cermin, ke wajahku juga.

“Apa? Jangan percaya hitung-hitungan? Gila! Bisa berantakan kalau nggak dihitung baik-baik. Berapa untuk bayar listrik, biaya transportasi, biaya komunikasi, konsumsi. Apalagi sekarang harga bahan pokok nggak menentu. Bisa kacau semua kalau nggak dihitung baik-baik. Seharusnya aku masuk jurusan ekonomi! Aku butuh perencana keuangan!”

Tuan Setan terkekeh lagi, jambul merahnya bergerak-gerak.

“Jangan ketawa!” Aku membentaknya. “Kamu sih enak nggak perlu mikirin tentang pemasukan-pengeluaran. Tinggal pikirkan apa yang kamu mau, semua tersedia. Sedangkan aku?  Aku harus bekerja siang-malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhanku!”

“Sudahlah.” Jawabnya kalem.

“Sudahlah? Kamu yang se…”

“Jangan percaya hitung-hitungan. Bukankah apa yang sudah kamu usahakan selama ini hanya berfungsi untuk terus-menerus membuatmu tahu bahwa segalanya tak mungkin cukup? Jangan percaya pada hitung-hitungan!” 

“Terserah apa yang kamu katakan!” 

“Jangan jadi makhluk yang merendahkan dirinya di hadapan makhluk lain bernama uang!” Ia melanjutkan. “Untuk apa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia jika kamu tak bisa memahaminya?”

Aku terhenyak. Tak percaya Tuan Setan bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi egoku seketika menolaknya: Aku tak mau digurui setan! “Apa maksudmu?” Di sisa-sisa kecemasan, dengan dada berguncang dan kening berkerut, aku berusaha bertahan dengan pertanyaan itu.

Tuan Setan kembali terkekeh. Sekarang ia berada didepanku.

“Masuklah kedalam kehidupan seluruh perencana keuangan. Tak ada yang lebih gelisah di atas dunia ini kecuali mereka!”

Keningku semakin mengerut, akalku belum berhasil menangkap apa yang diungakapkan oleh Tuan Setan. Tapi egoku masih ingin menolaknya.

“Omong kosong!” Bentakku.

Hening. Tuan Setan lekat menatapku.

“Kau yang omong kosong!” Tiba-tiba Tuan Setan balik membentakku. Bulu-bulu di punggungnya berdiri dan tubuhnya seketika membesar dua kali lipat dari ukuran sebelumnya, ada api di dalam matanya.

“Sial!” Aku mengumpat dalam hati. “Ini tidak fair!” Tapi wujud Tuan Setan kali ini membuat nyaliku menciut seciut-ciutnya.

Hening. Tuan Setan masih lekat menatapku
.
“Apa itu rejeki?” Tanya Tuan Setan.

Aku terdiam.

“Pemasukan dan pengeluaran? Apa yang kau hasilkan dan apa yang kau belanjakan? Cih! Betapa dangkal pikiranmu!”

Aku terdiam
.
“Dengarlah! Rejeki adalah apa yang masuk dan keluar menuju dan dari dalam dirimu! Udara, keringat, air, kentutmu, kencingmu, tawamu, air matamu, ingusmu, kebahagiaanmu, pikiranmu, kegelisahanmu, rambut yang tumbuh di seluruh tubuhmu, kedip matamu, semuanya, itulah rejeki!”

Aku terdiam.

“Jangan percaya pada hitung-hitungan! Kenyataannya, kau tak mungkin menghitung semuanya! Sampai kapanpun, apa yang kau hasilkan dan apa yang kau dapatkan, tak mungkin cukup untuk membayar semuanya! Hiduplah untuk memenuhi apa yang kau butuhkan, matilah jika terus-menerus menjadi budak bagi apa yang kau inginkan!”

Aku terdiam. Tiba-tiba ada yang berdenyar dalam dadaku. Tiba-tiba lutuku jadi lemas. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Dan tiba-tiba suaraku jadi lemah
.
“Hiduplah dalam keberkahan, buka dalam hitung-hitungan!” Jawab Tuan Setan.

Hening. Kami bersitatap sangat lekat.

“Berkah?” Aku bertanya.

Bersambung.
 
Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts