“Ah, lagi-lagi harga BBM naik lagi. Pasti semua harga juga bakalan naik. Semua tarif transportasi umum juga bakalan naik. Apalagi keadaan rupiah yang semakin melemah. Mungkinkah aku akan sanggup bertahan hidup dengan penghasilan pas-pasan?” Malam itu, di depan cermin, kegelisahanku tentang uang dan hal-hal sekelilingnya buncah.
“Hekhekhek.” Ada suara, ah, ternyata Tuan Setan terkekeh mendengar
kata-kataku. Tiba-tiba ia disampingku, menghadap cermin. “Jangan percaya dengan hitung-hitungan.” Sekilas ia melihat
langsung ke wajahku, lalu kembali pandangannya ke cermin, ke wajahku juga.
“Apa? Jangan percaya hitung-hitungan? Gila! Bisa berantakan
kalau nggak dihitung baik-baik. Berapa untuk bayar listrik, biaya transportasi,
biaya komunikasi, konsumsi. Apalagi sekarang harga bahan pokok nggak menentu.
Bisa kacau semua kalau nggak dihitung baik-baik. Seharusnya aku masuk jurusan
ekonomi! Aku butuh perencana keuangan!”
Tuan Setan terkekeh lagi, jambul merahnya bergerak-gerak.
“Jangan ketawa!” Aku membentaknya. “Kamu sih enak nggak
perlu mikirin tentang pemasukan-pengeluaran. Tinggal pikirkan apa yang kamu
mau, semua tersedia. Sedangkan aku? Aku
harus bekerja siang-malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhanku!”
“Sudahlah.” Jawabnya kalem.
“Sudahlah? Kamu yang se…”
“Jangan percaya hitung-hitungan. Bukankah apa yang sudah
kamu usahakan selama ini hanya berfungsi untuk terus-menerus membuatmu tahu
bahwa segalanya tak mungkin cukup? Jangan percaya pada hitung-hitungan!”
“Terserah apa yang kamu katakan!”
“Jangan jadi makhluk yang merendahkan dirinya di hadapan
makhluk lain bernama uang!” Ia melanjutkan. “Untuk apa Tuhan menciptakan
manusia sebagai makhluk yang paling mulia jika kamu tak bisa memahaminya?”
Aku terhenyak. Tak percaya Tuan Setan bisa mengatakan hal
seperti itu. Tapi egoku seketika menolaknya: Aku tak mau digurui setan! “Apa
maksudmu?” Di sisa-sisa kecemasan, dengan dada berguncang dan kening berkerut,
aku berusaha bertahan dengan pertanyaan itu.
Tuan Setan kembali terkekeh. Sekarang ia berada didepanku.
“Masuklah kedalam kehidupan seluruh perencana keuangan. Tak
ada yang lebih gelisah di atas dunia ini kecuali mereka!”
Keningku semakin mengerut, akalku belum berhasil menangkap
apa yang diungakapkan oleh Tuan Setan. Tapi egoku masih ingin menolaknya.
“Omong kosong!” Bentakku.
Hening. Tuan Setan lekat menatapku.
“Kau yang omong kosong!” Tiba-tiba Tuan Setan balik
membentakku. Bulu-bulu di punggungnya berdiri dan tubuhnya seketika membesar dua
kali lipat dari ukuran sebelumnya, ada api di dalam matanya.
“Sial!” Aku
mengumpat dalam hati. “Ini tidak fair!” Tapi
wujud Tuan Setan kali ini membuat nyaliku menciut seciut-ciutnya.
Hening. Tuan Setan masih lekat menatapku
.
“Apa itu rejeki?” Tanya Tuan Setan.
Aku terdiam.
“Pemasukan dan pengeluaran? Apa yang kau hasilkan dan apa
yang kau belanjakan? Cih! Betapa dangkal pikiranmu!”
Aku terdiam
.
“Dengarlah! Rejeki adalah apa yang masuk dan keluar menuju
dan dari dalam dirimu! Udara, keringat, air, kentutmu, kencingmu, tawamu, air
matamu, ingusmu, kebahagiaanmu, pikiranmu, kegelisahanmu, rambut yang tumbuh di
seluruh tubuhmu, kedip matamu, semuanya, itulah rejeki!”
Aku terdiam.
“Jangan percaya pada hitung-hitungan! Kenyataannya, kau tak
mungkin menghitung semuanya! Sampai kapanpun, apa yang kau hasilkan dan apa
yang kau dapatkan, tak mungkin cukup untuk membayar semuanya! Hiduplah untuk
memenuhi apa yang kau butuhkan, matilah jika terus-menerus menjadi budak bagi
apa yang kau inginkan!”
Aku terdiam. Tiba-tiba ada yang berdenyar dalam dadaku.
Tiba-tiba lutuku jadi lemas. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Dan tiba-tiba
suaraku jadi lemah
.
“Hiduplah dalam keberkahan, buka dalam hitung-hitungan!”
Jawab Tuan Setan.
Hening. Kami bersitatap sangat lekat.
“Berkah?” Aku bertanya.
Bersambung.
Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa.
Jakarta: Kurniaesa Publishing
0 komentar:
Posting Komentar