Rabu, 25 November 2015

Sajak Malam

Aku menikmati bulan pendar bundar
dari tanah tandus lapang kering
dibawah bulan terlihat
cambukan cahaya saling silang
tanpa pekak tabuh gemuruh
hanya kilatan cahaya sepenggal

bintang sembunyi dibalik rasi
tak berani nampak diri
takut tersakiti cambuk listrik.

Ragu

Aku berdiri diambang pintu
kau duduk dibalik pintu
aku ragu untuk mengetuk pintu
kau bimbang untuk membuka pintu
aku diluar sunyi
kau didalam sepi
aku tahu kau menungguku untuk mengetuk pintu
meminta masuk
kau tahu aku menunggumu membuka pintu
memanggil masuk
aku mengintip dari ventilasi
kau menengok dari jendela
aku takut, aku pulang.

* terinspirasi dari puisi "Tinggi Hati" karya Nursjamsu

Wajahnya

benarkah angin tak mencoba
singgah di matanya yang penuh misteri
benarkah angin tak mencoba
menerbangkan rambutnya yang bergelombang
benarkah angin tak mencoba
mengelus pipinya yang halus
benarkah angin tak mencoba
membisiki telinganya yang elok
benarkah angin tak mencoba*
menyentuh bibirnya yang sempurna*


* dikutip dari novel "PULANG" karya Leila S. Chudori

Sajak Bunga

seperti bunga
dia tumbuh
dari kecil
hingga dewasa

seperti bunga
dia tidak berkompetisi
dengan bunga lain
melainkan

seperti bunga
dia mekar
dengan sendirinya
tanpa hirau
bunga lain

seperti bunga
dia tidak
pernah iri
dengan bunga lain

seperti bunga
dia tidak
ingin menjadi
bunga lain

seperti bunga
dia indah
dia cantik
dia dia.

Jumat, 06 November 2015

Sirna

biarkan aku sendiri
yang ini bukan apa-apa
aku masih akan menghadapi
gelombang dan badai yang seribu kali lebih besar
dan mungkin... seribu kali lebih sunyi.

Malam Terang

Saat kutulis puisi ini
bulan bertahta dicakrawala
bagai mangkok bersinar
tanpa gangguan bintang
awan mendung
sama seperti kala itu
disaat aku masih mengirimmu surat
berkala setiap rindu
berangan sesungging senyummu
berkhayal pandangan matamu
memejam seolah mendengar suaramu
berpura-pura berbicara denganmu
berharap ada disismu.

Minggu, 01 November 2015

Terkikis Pada Malam

aku terduduk di pojok kamar
meringkuk-memeluk lutut
menatap langit-langit
berkhayal dalam-jauh
tergambar wajah dirinya
yang bertahta dijiwa tiada banding
seperti purnama pada cakrawala malam

teringat apa dia senja tadi kata
hancur hati remuk redam
tidak terkira akan sengeri ini
sebelum itu aku bersiap kecewa
tidak kumengerti tetap sakit tapi
penantian panjang dihempaskannya saja begitu

aku berlari. Berlari hingga hilang pedih peri
kupercepat langkah tak menoleh kebelakang
ngeri ini luka-terbula sekali terpandang

aku masih terduduk dipojok kamar
meringkuk-memeluk lutut
menanti dirinya yang enggan datang.
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts