Kamis, 27 Desember 2018

Beberapa Jam Setelah Kamu Pergi

Aku menulis ini di sebuah warung kopi samping rumah. Di meja ada segelas kecil Espresso Shot dengan secangkir wedhang kopi Lampung dan ditemani seorang pecundang, sama seperti diriku.

***

Tentang sebuah emosi yang labil. Kamu masih sama, konsisten dengan inkonsistensi. Tiba-tiba saja bisa menghilang kapanpun, dan tiba-tiba bisa datang dengan sebuah lagu.

Tentang pengenalan dan pendekatan diri dengan Tuhan. Aku tak bisa memaksa mu untuk mengenal Tuhan dengan caraku. Aku juga tak bisa memaksamu untuk terus bersamaku, karena kamu, yang pasti, milik-Nya.

Tentang hujan dan mantel warna kuning.

Tentang cerita dan teka-teki di dalamnya.

Kucing, musikalisasi puisi, sebuah pertemuan, sebuah percakapan, perjalanan pulang, gelas reaksi, sekolah, tulisan-tulisanku, bunyi pianomu, pipi dan keningmu, suaramu, ketidak-pastian tentang masa depan.

Mencintaimu adalah rentetan penyadaran tentang menata mimpi-mimpi baru.

Kamu satu yang sekarang dan akan tetap paling kubanggakan.

***

Aku pikir, suatu saat, jika kita memang benar-benar menikah, kita akan menjadi orang tua yang biasa saja.

Kamis, 03 Mei 2018

Beberapa Jam Setelah Kamu Mendekat

Aku menulis ini di tengah-tengah gelapnya kamar kos dengan dengkuran teman yang menggema. Jemariku meraba alfabet di keyboard yang berulang kali harus kuhapus karena typo.


Tentang penantian dan kesabaran yang tak selalu membuahkan hasil. Kadang, hasil tak sama seperti yang diharapkan, kadang melebihi, lebih sering mengecewakan.

Tentang pesan whatsapp yang kamu kirimkan tiba-tiba. Mencari cara seolah-olah aku tak bisa menebak bahwa itu kamu.

Malam itu, aku rasa hubungan kita akan membaik. Mulai membicarakan hal-hal yang tak penting lagi.

Aku memiliki banyak kekurangan, maka kamulah yang akan menjadi kelebihanku,

Mencintaimu kurasa, menjadikan kening mu letak jejak bibirku, menahan pipi mu basah oleh air mata.

Aku ingin berhenti memujimu lewat kata-kata yang tak kau sukai, tapi matamu berhasil menyeretku, dan tingkahmu menyihir saraf senyumku.

Aku tak ingin tidur malam itu.


Keesokan paginya, ketika temanku hendak berangkat, dia tergopoh kembali ke kamar. Kepalanya dijulurkan lewat jendela, "Can, motormu mana?" Katanya terengah.

Motorku hilang.

Jumat, 02 Maret 2018

Obat dan Makan

Hi, Atala.

Kemarin, aku sudah bercerita padamu tentang kenelangsaanku akhir-akhir ini. Entahlah, aku tak tahu apa yang kamu rasakan.

Tapi, ternyata tidak sampai disitu, Atala. Kenelangsaanku belum selesai. Sudikah kamu meluangkan waktumu untuk membacai suratku?

Ahh, lancang sekali aku, Atala. Tak menanyai kabarmu di awal suratku. Malah ku todong kau dengan kabarku. Kiranya kabar mu selalu lebih baik dari aku. Kabarku? Dua baris di atas mungkin belum selesai.

Atala, akhir-akhir ini aku jarang masuk kelas. Bukan karena aku malas. Bukan. Tapi, karena buntut masalah yang sudah aku ceritakan padamu waktu lalu.

Selama aku mengurusi hal itu, aku juga harus menahan sakit di telinga ku. Iya, telingaku tak dapat mendengar. Apa? Kamu tanya apa aku tak ke dokter?

Sudah, Atala, sudah. Aku rela sehari-semalam menempuh jarak 200 km untuk mengobati telinga ku. Iya, aku pulang lalu hari itu juga aku harus balik ke surabaya. Dua kali bahkan.

Tak hanya punggungku yang lesu, ada yang lebih lesu. Hati, Atala. Iya, aku harus menahan amarahku pada dokter. Aku berobat dua kali, meninggalkan semua urusanku di surabaya, tapi tak ada perkembangan ke arah sembuh. Dua kali aku ke dokter yang sama, dua kali juga aku di beri obat yang sama, dan hasilnya nihil.

Jika saja, Atala, di tengah-tengah kepulanganku aku bisa melihatmu barang semenit dua. Semua kesal ku pasti akan menguap. Iya, Atala. Jika saja.


Dan, hari ini, Atala, aku putuskan untuk langsung ke Dokter Spesialis. Meski aku tahu aku harus mengorbankan sebagian, bukan, bukan sebagian, tapi banyak. Aku harus mengorbankan banyak uangku untuk berobat.

Kamu tanya berapa biayanya, Atala? Untuk menebus obatnya saja itu sama dengan biaya makan ku di sini selama seminggu. Iya, seminggu, Atala.

Tapi, tak apalah, itu sepadan dengan perlakuan Dokter Spesialis. Kamu tahu, Atala, telinga ku tadi di "irigasi". Aku baru tahu telinga bisa di "irigasi". Aku kira istilah itu hanya untuk pertanian. Bodohnya aku.

Tapi, apa yang menyebalkan dari semua ini. Adalah aku harus mengonsumsi obat tiga kali sehari. Itu sama saja aku harus makan tiga kali sehari. Bukan. Bukan karena aku sedang diet. Tapi, aku harus bangun pagi dan berjalan keluar untuk cari makanan sehat juga aku harus beli makan tiga kali dalam sehari yang berarti aku juga harus mengeluarkan uang lebih dari dompetku. Biasanya aku hanya makan dua kali dalam sehari, Atala.

Kamu tak usah risau masalah makan. Makanlah sesukamu, tak usah kamu pusingkan perihal pipimu yang semakin menggembung. Tak masalah bagiku, Atala.

Banyak wanita yang merasa cantik itu harus berkulit putih, rambut lurus, dan badan kurus. Tidak, Atala, iklanlah yang membuat standard seperti itu. Dan, mereka korban iklan. Aku yakin kau tidak bagian dari mereka.

Ngomong-ngomong, Atala, kamu tadi siang makan dengan siapa? (scw)

Jumat, 09 Februari 2018

Postingan Khusus:Tentang Kamu, dan Untuk Kamu. (I)

Sebuah buku dapat mempengaruhi hidup kalian. Mengerikan memang. Ditambah kalian bisa menghubungkan dengan kehidupan kalian, apalagi jika isi buku tersebut sama dengan apa yang kalian rasakan atau isi buku tersebut mewakili isi perasaan yang tak tersampaikan.

Beberapa waktu yang lalu, saya kasmaran kepada seseorang. Tak ubah seperti kutukan sebelumnya:saya tak pernah punya nyali untuk ketemu, ya kami hanya sekedar berchatting ria.

Sebagaimana bodohnya saya, saya hanya sanggup untuk menyimpan perasaan ini dan menceritakannya pada teman dekat. Reaksi mereka ya selayaknya teman dekat, menanggapi masalah serius dengan bercanda, cemooh, dan umpatan. Reaksi mereka seperti:

"Wahh, abis ini bakal produktif bikin cerita dong."
"Hahahahaha."
"Wesalah, njarno ae ngko lak yo ceklek-ceklek dewe."
"Cupu."
Dll.

Walaupun saya tahu mereka tetap memikirkan diri saya dengan serius.

Saya akan menceritakan perempuan itu. Dari awal, mungkin dia sendiri juga tidak tahu.

Dulu, saya sudah pernah menaksirnya. Dulu sekitar dua tahunan yang lalu. Sekedar naksir, ketertarikan kepada seseorang yang hanya mendengar cerita dari orang lain dan melihat fisiknya saja. Ya, dulu. Sempat saya dekati, tapi nampaknya tak ada hasil dan dia ternyata sudah punya pacar. Desperate lah saya dan lupakan tentang perempuan itu. Mungkin dia sudah lupa bahwa saya dulu pernah mencoba untuk mendekatinya.

Suatu ketika, kami ketemu di kantin. Deg! Saya bingung harus bagaimana tapi otak saya mendoktrin diri saya untuk tetap tenang karena otak saya yakin dia nggak bakal notice dengan saya.

Tetapi, semesta sedang bercanda, dia tersenyum kepada saya. Deg! Deg! Jantung saya berhenti, saraf-saraf melemah, otak mulai kusalahkan dengan doktrin-doktrin palsunya. Saya hanya bisa menyuguhkan sebuah senyuman kaku sebagai balasan. Senyuman tiba-tiba yang sangat kaku. Sangat kaku.

Setelah kejadian itu, perasaan saya seperti apa, saya sendiri juga lupa.

Skip. Sqip. Sekip. Sepik. (Fokus!)

Beberapa bulan yang lalu, menurut saya ini adalah awal dari semua ini.

Seperti selayaknya Kids jaman jigeum, saling mengomentari instagramstory. Tidak, dia yang mengomentari. Dan dari situ percakapan mulai melebar.

Dia mulai bercerita. Ya, tapi saya biasa saja. Tidak mau ke ge-er an.

Saya pikir, percakapan kami waktu itu mengalir saja. Dia bercerita tentang mantannya yang menghubunginya kembali hanya sekedar berkabar, tapi dia tidak menanggapi. Bercerita tentang mantan-mantannya, tentang memori-memori tidak menyenangkannya waktu itu. Tidak baik kenangan seperti apa yang dia ceritakan kepada saya jika saya tulis disini.

Oiya, dulu dia juga pernah bercerita tentang hal ini, ketika dia sedang berada diakhir hubungannya denga pacarnya, tentunya sekarang mantan.

Dia juga bercerita tentang masalah-masalah hidup dan saya tanggapi dengan pendapat saya yang sangat sok bijak, agamis, dan sangan sempurna. Entahlah, saya kira jawaban-jawaban saya atas masalahnya mungkin dia terapkan. Tapi apapun itu, saya juga melakukan hal yang sama seperti jawaban-jawaban itu. (pusingkan)

Iya, dia hanya tahu sisi baik dari saya, sisi yang sangat minoritas di diri saya. Karena saya banyak minusnya. Beneran.

Entahlah apa yang terjadi, sepertinya dia suka sama saya. Dia tahu banyak tentang saya, dia baca blog ini, dan hal-hal lain. Tapi tentu saja sisi hanya sisi baik.(terserah kalian menganggap saya ke ge-er an, orang ini kisah saya, pendapat saya dong!)

Tapi, tiba-tiba dia undur diri. Iya, dia pamitan. Baikkan dia nggak seperti gebetan kalian yang tiba-tiba hilang.

Alasannya? Tak perlulah kalian tahu. Alasan yang sangat bisa diterima pokok bukan fokus sekolah atau fokus ujian atau fokus kuliah.

FINE.

Saya beri dia sebuah buku yang sangat berharga bagi saya dan sebuah surat. Tentu saja bukan saya yang memberinya langsung, saya titipkan ke temannya.

Dia menerimanya, saya lega. Saya juga tahu dia membacanya.

Bentar saya mau shalat Isya' dulu. (csw)

Minggu, 04 Februari 2018

Maaf

Selamat malam, Atala. Aku tak tahu kapan kamu membacanya, tapi aku mengawali surat ini dengan sapaan waktu ketika aku menulis surat ini.

Aku tak sanggup menyapamu dalam tatapan. Maaf, aku hanya berani menyapa lewat surat ini. Pengecut memang, tapi mau bagaimana lagi. Ketika kau menyapaku, lidah ku tiba-tiba kelu, otakku langsung beku, hanya seutas senyum kaku yang bisa aku suguhkan. Tak berkesan untukmu, Atala.

Atala, maaf. Aku dulu menjanjikanmu akan mengirimu surat tiap minggu. Lagi-lagi tak kutepati, bahkan aku terlambat dua bulan, Atala. Kamu berhak marah padaku, kamu berhak mencaciku.

Bahkan, jika kamu ingin, kamu bisa menodongkan pistol ke kepalaku lalu kau tembakan. Oh, kau tak perlu, aku sudah sering melakukannya.

Iya, aku sering melakukannya. Aku melakukannya ketika aku merindukanmu, ingin menyapamu melalui platform media sosial. Tapi, aku tahan. Ingin meledakkan kepalaku sendiri rasanya, Atala.

Aku ingin memberi tahu salah satu kesenanganku:pergi ke konser musik. Kamu tanya kenapa, Atala? Aku bisa berteriak sekeras yang aku mau tanpa dilihat aneh oleh orang-orang yang mendengarku. Dengan itu, aku bisa sedikit tenang tentang masalah-masalahku, termasuk menyapamu. Walaupun yang lebih sering kudapatkan adalah sakit tenggorokan sepulang dari konser musik.

Aku lagi-lagi teringat hujan, Atala. Bukan, bukan kenangan manis, aku khawatir. Aku khawatir ketika hujan kamu sedang dalam perjalanan pulang, kamu kedinginan, sendirian, di entah berantah. Hiperbolis memang, tapi aku tetap khawatir. 

Kamu ringkih, Atala.

Jika aku sanggup, aku akan hentikan hujan sejenak, menunggumu sampai rumah lalu menurunkannya kembali. Atau malah, jika aku bisa, aku ingin menjelma menjadi hujan, kuderasi tubuhmu dengan pelukan-pelukan rapat, dan menemanimu sampai rumah.

Maaf, Atala, aku tetap tak sanggup melakukannya.

Sebelum aku tutup surat ini, aku ingin menerka-nerka akan kamu apakan surat ini. Aku menebak, setelah kamu baca, kamu akan meremas surat ini dan kamu lemparkan keluar jendela, terkoyak-koyak air hujan dan luruh terbawa arusnya.

Tapi, Atala, ijinkan aku menjelma menjadi jas hujan kuningmu dan melindungimu ketika hujan. Salam. (csw)


Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts