Selasa, 28 April 2015

Keberkahan II

“Berkah?” Aku bertanya.

Tuan Setan mengangguk. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya jadi terlihat sedih. “Ya.” Jawabnya, “Sesuatu yang pernah kumiliki dan kusia-siakan. Kedengarannya lucu aku mengajarkanmu tentang berkah padahal aku tak lagi memilikinya.”

Hening.

Aku menatap mata Tuan Setan yang menjadi layu.

“Apa itu berkah?” Aku benar-benar ingin tahu.

“Sungai yang mengalir.” Jawab Tuan Setan, “Sesuatu yang tak bisa dihitung, tetapi menghidupkan.”

“Aku belum mengerti.”

“Bayangkanlah sungai yang mengalir. Airnya tak bisa dihitung sebab ia terus mengalir. Ada siklus yang tak pernah putus memberinya kehidupan. Lalu ia bisa menghidupi ikan dan makhluk lain dalam dirinya, ia menumbuhkan tanaman di sekelilingnya, ia membersihkan batu-batu dan menyuburkan tanah. Hiduplah seperti sungai yang mengalir. Jangan membendungnya lalu menghitung semuannya.” Suara Tuan Setan semakin melemah.

Aku mengangguk, menyetujui hampir semua kata-katanya. Tiba-tiba angka berlepasan dari dalam pikiranku. Berapa yang kudapatkan? Betapa kecil dan terbatas. Tetapi bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup sejauh ini? Mengapa tiba-tiba semua hitungan tak bisa menemukan faktor yang menyelamatkan seluruh neraca kecukupan kebutuhan hidupku? Ada sesuatu yang aneh sekaligus misterius dalam hidupku. Sesuatu yang entah bagaimana caranya, tak pernah berhenti, menolongku untuk memenuhi hal-hal yang aku butuhkan dalam hidupku.

Hening.

Kami menunduk dalam kegelisahan kami masing-masing.

“Terima kasih, Tuan Setan, entah untuk keberapa kalinya.” Berat memang, tetapi aku harus mengatakannya.

Tuan Setan menatapku, mengangguk senang. “My pleasure.” Jawabnya riang.

Aku tersenyum. Tuan Setan tersenyum.

“Berhentilah gelisah. Tak usah terlalu percaya pada hitung-hitungan. Hiduplah dalam keberkahan. Lihatlah dari apa yang sudah kualami selama jutaan tahun cahaya.” Katanya.

Aku mengangguk. Mulai malam ini, rasanya aku tak peduli lagi pada harga BBM yang selalu naik juga harga bahan pokok yang selalu mengalami inflasi. Aku tak inigin hidup dalam hitung-hitungan.

“Berbahagialah dalam keberkahan.” Kata Tuan Setan sebelum ia pergi, “Jadilah sungai yang mengalir. Cukup aku yang menderita. Cukuplah aku yang menjadi sungai tersumbat yang telah ditolak untuk pulang pada laut.”


Djibran, Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts