“Berkah?” Aku bertanya.
Tuan Setan mengangguk. Ada sesuatu yang
tiba-tiba membuatnya jadi terlihat sedih. “Ya.” Jawabnya, “Sesuatu yang pernah
kumiliki dan kusia-siakan. Kedengarannya lucu aku mengajarkanmu tentang berkah
padahal aku tak lagi memilikinya.”
Hening.
Aku menatap mata Tuan Setan yang
menjadi layu.
“Apa itu berkah?” Aku benar-benar ingin
tahu.
“Sungai yang mengalir.” Jawab Tuan Setan,
“Sesuatu yang tak bisa dihitung, tetapi menghidupkan.”
“Aku belum mengerti.”
“Bayangkanlah sungai yang mengalir. Airnya
tak bisa dihitung sebab ia terus mengalir. Ada siklus yang tak pernah putus
memberinya kehidupan. Lalu ia bisa menghidupi ikan dan makhluk lain dalam
dirinya, ia menumbuhkan tanaman di sekelilingnya, ia membersihkan batu-batu dan
menyuburkan tanah. Hiduplah seperti sungai yang mengalir. Jangan membendungnya
lalu menghitung semuannya.” Suara Tuan Setan semakin melemah.
Aku mengangguk, menyetujui hampir semua
kata-katanya. Tiba-tiba angka berlepasan dari dalam pikiranku. Berapa yang
kudapatkan? Betapa kecil dan terbatas. Tetapi bagaimana caranya aku bisa
bertahan hidup sejauh ini? Mengapa tiba-tiba semua hitungan tak bisa menemukan
faktor yang menyelamatkan seluruh neraca kecukupan kebutuhan hidupku? Ada
sesuatu yang aneh sekaligus misterius dalam hidupku. Sesuatu yang entah
bagaimana caranya, tak pernah berhenti, menolongku untuk memenuhi hal-hal yang
aku butuhkan dalam hidupku.
Hening.
Kami menunduk dalam kegelisahan kami
masing-masing.
“Terima kasih, Tuan Setan, entah untuk
keberapa kalinya.” Berat memang, tetapi aku harus mengatakannya.
Tuan Setan menatapku, mengangguk senang.
“My pleasure.” Jawabnya riang.
Aku tersenyum. Tuan Setan tersenyum.
“Berhentilah gelisah. Tak usah terlalu
percaya pada hitung-hitungan. Hiduplah dalam keberkahan. Lihatlah dari apa yang
sudah kualami selama jutaan tahun cahaya.” Katanya.
Aku mengangguk. Mulai malam ini, rasanya
aku tak peduli lagi pada harga BBM yang selalu naik juga harga bahan pokok yang
selalu mengalami inflasi. Aku tak inigin hidup dalam hitung-hitungan.
“Berbahagialah dalam keberkahan.” Kata Tuan
Setan sebelum ia pergi, “Jadilah sungai yang mengalir. Cukup aku yang
menderita. Cukuplah aku yang menjadi sungai tersumbat yang telah ditolak untuk
pulang pada laut.”
Djibran, Fahd. 2012.
Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing
0 komentar:
Posting Komentar