Aku akan mengisahkan kepadamu sesuatu.
***
Seorang perempuan yang ragu-ragu untuk
mengetuk pintu rumahnya sendiri. Ada kekhawatiran di hatinya. Sebuah pertanyaan
yang diulang-ulang sejak pertama kali berniat untuk kembali mendatangi rumah
orangtuanya: ”Akankah ayah menerimaku
kembali?”
Ia meyakinkan diri untuk mengetuk pintu itu. Tiga kali.
Sebelum akhirnya suara kunci dibuka dan seorang lelaki paruh baya muncul dari
baliknya. “Kamu? Ngapain kamu kesini? Berani-beraninya kamu datang lagi kesini?” Bentaknya.
Tak ada penjelasan. Perempuan itu hanya
bisa menangis. Bibirnya bergetar. Berkali-kali menggelengkan kepala.”Ayah…”
katanya lirih,”Ayah baik-baik saja? Aku kangen ayah…”
Lelaki itu terdiam, barangkali perasaan
yang sama sedang mencoba masuk kedalam hatinya, sebelum kebencian kembali
mengusirnya. “Pergi!” Bentaknya sekali lagi. “Sebaiknya kau segera pergi! Aku
sudah tak menganggapmu sebagai anakku lagi!”
Perempuan itu semakin terisak, air matanya
membanjiri tebing pipinya. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya, bahunya
berguncang.
“Bukankah dulu kau lebih memilih menikahi
lelaki Muslim itu daripada tetap menjadi anakku?” Pertanyaan ayahnya kembali
mengingatkan perempuan itu pada peristiwa dua tahun lalu. Ketika ia memutuskan
untuk menikahi seorang lelaki yang berseberangan agama, yang begitu ia cintai.
Keputusan yang begitu menyakitkan, tersebab harus menjatuhkannya pada dua
pilihan sulit: Merengkuh cintanya dengan
melepas cinta yang lain, atau sebaliknya?
“Aku
mencintainya, Ayah. Sebesar ia mencintaiku.” Jawab perempuan itu dengan suara
tercekat, di sela-sela tangisnya.
“Cinta? Itulah yang membuatmu harus pergi
dari rumah ini! Kau bukan anakku lagi!” Bentak lelaki itu.
“Ayah… Cinta jugalah yang membuatku
memutuskan untuk mengetuk pintu rumah ini lagi. Aku mencintaimu, Ayah, seperti
aku juga tahu ayah mencintaiku!” Air matanya semakin membanjiri pipinya.
Hening.
Lelaki itu menutup pintu, membuka pintunya
lagi, melongokan kepalanya keluar. ”Sebaiknya kau segera pergi.” Katanya lirih. Ia memasukkan kepalanya dan
menutup pintunya kembali juga menguncinya. “Dan jangan pernah kau kesini lagi.”
Lelaki itu berteriak dari balik pintunya yang tertutup.
Si perempuan, sambil terus menangis, juga
untuk kesekian kalinya harus pergi dari rumah itu, dengan perasaan yang tak
mungkin dijelaskan:Angin bertiup
perlahan, mengangkat helai-helai halus rambut yang menempel karna basah air
mata pada pipinya. Tetapi ia berusaha melambatkan langkahnya, berharap
ayahnya membuka pintu dan memanggilnya kembali: Untuk sebuah senyum dan
pelukan. Aku akan selalu menjadi peragu, katanya
dalam hati, sedikitpun aku tak akan
pernah meyakini bahwa ayah tak akan menerimaku kembali.
Didalam rumah, sambil bersandar ke pintu
yang baru saja ia tutup kembali untuk putri kesayanganna, lelaki itu untuk
kesekian kalinya juga menangis. Betapa berat ia yang harus berdiri di atas
kenyataan bahwa apa yang ia yakini harus memisahkannya dari putri yang sangat
ia cintai. Tuhan, haruskah aku meragukan
semuanya? Demikian ia selalu berdoa: Aku
ingin merasakan keyakinan yang bisa membukakan pintu maafku untuk kembali
mendekap putri kesayanganku….
Maka ia buka kembali pintu yang baru saja
ia kunci, sambil membyangkan senyum outrinya yang sangat ia cintai: Dan
disanalah cinta mebongkar batas-batas keyakinan.
“Patricia!” Lelaki itu memanggil ama
putrinya lagi. Sayang, tak ada jawaban. Kosong. Hanya angin dan isak yang
tertahan.
Ia tahu kini semuanya sudah terlambat,
tetapi kelegaan merambati hatinya:”Mulai
hari ini, aku akan menjadi peragu.” Katanya, “Aku tak akan pernah mmeyakini
bahwa Patricia tak akan kembali ke rumah ini lagi.”
***
Kini, kita bisa melihat kisah itu, sekali
lagi, sambil menghayati sebaris kalimat sakti yang pernah dituliskan Amin
Maalouf: Jika keyakinan mengajarkan
kebencian, terberkatilah orang-orang yang meragu.
Demikianlah kisah itu diceritakan.
Barangkali, seperti kisahmu, seperti banyak orang yang mengalaminya, tapi dalam
detil yang berbeda.
Djibran,
Fahd. 2012. Perjalanan Rasa. Jakarta: Kurniaesa Publishing