Sebuah buku dapat mempengaruhi hidup kalian. Mengerikan memang. Ditambah kalian bisa menghubungkan dengan kehidupan kalian, apalagi jika isi buku tersebut sama dengan apa yang kalian rasakan atau isi buku tersebut mewakili isi perasaan yang tak tersampaikan.
Beberapa waktu yang lalu, saya kasmaran kepada seseorang. Tak ubah seperti kutukan sebelumnya:saya tak pernah punya nyali untuk ketemu, ya kami hanya sekedar berchatting ria.
Sebagaimana bodohnya saya, saya hanya sanggup untuk menyimpan perasaan ini dan menceritakannya pada teman dekat. Reaksi mereka ya selayaknya teman dekat, menanggapi masalah serius dengan bercanda, cemooh, dan umpatan. Reaksi mereka seperti:
"Wahh, abis ini bakal produktif bikin cerita dong."
"Hahahahaha."
"Wesalah, njarno ae ngko lak yo ceklek-ceklek dewe."
"Cupu."
Dll.
Walaupun saya tahu mereka tetap memikirkan diri saya dengan serius.
Saya akan menceritakan perempuan itu. Dari awal, mungkin dia sendiri juga tidak tahu.
Dulu, saya sudah pernah menaksirnya. Dulu sekitar dua tahunan yang lalu. Sekedar naksir, ketertarikan kepada seseorang yang hanya mendengar cerita dari orang lain dan melihat fisiknya saja. Ya, dulu. Sempat saya dekati, tapi nampaknya tak ada hasil dan dia ternyata sudah punya pacar. Desperate lah saya dan lupakan tentang perempuan itu. Mungkin dia sudah lupa bahwa saya dulu pernah mencoba untuk mendekatinya.
Suatu ketika, kami ketemu di kantin. Deg! Saya bingung harus bagaimana tapi otak saya mendoktrin diri saya untuk tetap tenang karena otak saya yakin dia nggak bakal notice dengan saya.
Tetapi, semesta sedang bercanda, dia tersenyum kepada saya. Deg! Deg! Jantung saya berhenti, saraf-saraf melemah, otak mulai kusalahkan dengan doktrin-doktrin palsunya. Saya hanya bisa menyuguhkan sebuah senyuman kaku sebagai balasan. Senyuman tiba-tiba yang sangat kaku. Sangat kaku.
Setelah kejadian itu, perasaan saya seperti apa, saya sendiri juga lupa.
Skip. Sqip. Sekip. Sepik. (Fokus!)
Beberapa bulan yang lalu, menurut saya ini adalah awal dari semua ini.
Seperti selayaknya Kids jaman jigeum, saling mengomentari instagramstory. Tidak, dia yang mengomentari. Dan dari situ percakapan mulai melebar.
Dia mulai bercerita. Ya, tapi saya biasa saja. Tidak mau ke ge-er an.
Saya pikir, percakapan kami waktu itu mengalir saja. Dia bercerita tentang mantannya yang menghubunginya kembali hanya sekedar berkabar, tapi dia tidak menanggapi. Bercerita tentang mantan-mantannya, tentang memori-memori tidak menyenangkannya waktu itu. Tidak baik kenangan seperti apa yang dia ceritakan kepada saya jika saya tulis disini.
Oiya, dulu dia juga pernah bercerita tentang hal ini, ketika dia sedang berada diakhir hubungannya denga pacarnya, tentunya sekarang mantan.
Dia juga bercerita tentang masalah-masalah hidup dan saya tanggapi dengan pendapat saya yang sangat sok bijak, agamis, dan sangan sempurna. Entahlah, saya kira jawaban-jawaban saya atas masalahnya mungkin dia terapkan. Tapi apapun itu, saya juga melakukan hal yang sama seperti jawaban-jawaban itu. (pusingkan)
Iya, dia hanya tahu sisi baik dari saya, sisi yang sangat minoritas di diri saya. Karena saya banyak minusnya. Beneran.
Entahlah apa yang terjadi, sepertinya dia suka sama saya. Dia tahu banyak tentang saya, dia baca blog ini, dan hal-hal lain. Tapi tentu saja sisi hanya sisi baik.(terserah kalian menganggap saya ke ge-er an, orang ini kisah saya, pendapat saya dong!)
Tapi, tiba-tiba dia undur diri. Iya, dia pamitan. Baikkan dia nggak seperti gebetan kalian yang tiba-tiba hilang.
Alasannya? Tak perlulah kalian tahu. Alasan yang sangat bisa diterima pokok bukan fokus sekolah atau fokus ujian atau fokus kuliah.
FINE.
Saya beri dia sebuah buku yang sangat berharga bagi saya dan sebuah surat. Tentu saja bukan saya yang memberinya langsung, saya titipkan ke temannya.
Dia menerimanya, saya lega. Saya juga tahu dia membacanya.
Bentar saya mau shalat Isya' dulu. (csw)
Beberapa waktu yang lalu, saya kasmaran kepada seseorang. Tak ubah seperti kutukan sebelumnya:saya tak pernah punya nyali untuk ketemu, ya kami hanya sekedar berchatting ria.
Sebagaimana bodohnya saya, saya hanya sanggup untuk menyimpan perasaan ini dan menceritakannya pada teman dekat. Reaksi mereka ya selayaknya teman dekat, menanggapi masalah serius dengan bercanda, cemooh, dan umpatan. Reaksi mereka seperti:
"Wahh, abis ini bakal produktif bikin cerita dong."
"Hahahahaha."
"Wesalah, njarno ae ngko lak yo ceklek-ceklek dewe."
"Cupu."
Dll.
Walaupun saya tahu mereka tetap memikirkan diri saya dengan serius.
Saya akan menceritakan perempuan itu. Dari awal, mungkin dia sendiri juga tidak tahu.
Dulu, saya sudah pernah menaksirnya. Dulu sekitar dua tahunan yang lalu. Sekedar naksir, ketertarikan kepada seseorang yang hanya mendengar cerita dari orang lain dan melihat fisiknya saja. Ya, dulu. Sempat saya dekati, tapi nampaknya tak ada hasil dan dia ternyata sudah punya pacar. Desperate lah saya dan lupakan tentang perempuan itu. Mungkin dia sudah lupa bahwa saya dulu pernah mencoba untuk mendekatinya.
Suatu ketika, kami ketemu di kantin. Deg! Saya bingung harus bagaimana tapi otak saya mendoktrin diri saya untuk tetap tenang karena otak saya yakin dia nggak bakal notice dengan saya.
Tetapi, semesta sedang bercanda, dia tersenyum kepada saya. Deg! Deg! Jantung saya berhenti, saraf-saraf melemah, otak mulai kusalahkan dengan doktrin-doktrin palsunya. Saya hanya bisa menyuguhkan sebuah senyuman kaku sebagai balasan. Senyuman tiba-tiba yang sangat kaku. Sangat kaku.
Setelah kejadian itu, perasaan saya seperti apa, saya sendiri juga lupa.
Skip. Sqip. Sekip. Sepik. (Fokus!)
Beberapa bulan yang lalu, menurut saya ini adalah awal dari semua ini.
Seperti selayaknya Kids jaman jigeum, saling mengomentari instagramstory. Tidak, dia yang mengomentari. Dan dari situ percakapan mulai melebar.
Dia mulai bercerita. Ya, tapi saya biasa saja. Tidak mau ke ge-er an.
Saya pikir, percakapan kami waktu itu mengalir saja. Dia bercerita tentang mantannya yang menghubunginya kembali hanya sekedar berkabar, tapi dia tidak menanggapi. Bercerita tentang mantan-mantannya, tentang memori-memori tidak menyenangkannya waktu itu. Tidak baik kenangan seperti apa yang dia ceritakan kepada saya jika saya tulis disini.
Oiya, dulu dia juga pernah bercerita tentang hal ini, ketika dia sedang berada diakhir hubungannya denga pacarnya, tentunya sekarang mantan.
Dia juga bercerita tentang masalah-masalah hidup dan saya tanggapi dengan pendapat saya yang sangat sok bijak, agamis, dan sangan sempurna. Entahlah, saya kira jawaban-jawaban saya atas masalahnya mungkin dia terapkan. Tapi apapun itu, saya juga melakukan hal yang sama seperti jawaban-jawaban itu. (pusingkan)
Iya, dia hanya tahu sisi baik dari saya, sisi yang sangat minoritas di diri saya. Karena saya banyak minusnya. Beneran.
Entahlah apa yang terjadi, sepertinya dia suka sama saya. Dia tahu banyak tentang saya, dia baca blog ini, dan hal-hal lain. Tapi tentu saja sisi hanya sisi baik.(terserah kalian menganggap saya ke ge-er an, orang ini kisah saya, pendapat saya dong!)
Tapi, tiba-tiba dia undur diri. Iya, dia pamitan. Baikkan dia nggak seperti gebetan kalian yang tiba-tiba hilang.
Alasannya? Tak perlulah kalian tahu. Alasan yang sangat bisa diterima pokok bukan fokus sekolah atau fokus ujian atau fokus kuliah.
FINE.
Saya beri dia sebuah buku yang sangat berharga bagi saya dan sebuah surat. Tentu saja bukan saya yang memberinya langsung, saya titipkan ke temannya.
Dia menerimanya, saya lega. Saya juga tahu dia membacanya.
Bentar saya mau shalat Isya' dulu. (csw)